Minggu, 02 Agustus 2015

Program Benteng Tahun 1950-1954


Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Indonesia mengirim delegasinya yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Dalam Konferensi itu disepakati beberapa agreement, salah satunya adalah pembentukan Negara Indonesia sebagai suatu serikat. Dalam konferensi tersebut juga disepakati bahwa Soekarno diangkat menjadi presiden RIS dan Mohammad Hatta menjadi wakil presiden sekaligus merangkap sebagai Perdana Menteri RIS.[1]
Bagi negara yang sepenuhnya baru lepas dari bayang-bayang kolonialisme, dibutuhkan suatu gagasan yang baru dari para perumus kebijakan untuk membangun perekonomian Indonesia. Di lain pihak, para pembuat kebijakan ekonomi juga dihadapkan pada tugas yang berat, dimana masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul saling mempengaruhi. Seperti kebutuhan akan perbaikan sistem dan fasilitas ekonomi yang rusak akibat dari kolonialisme Jepang dan Revolusi Fisik, dengan permintaan yang kuat untuk mengubah ekonomi ala kolonial menjadi ekonomi nasional. Selain itu juga terdapat masalah sistem nilai tukar ganda yang menyebabkan inflasi berkepanjangan[2] dan permasalahan akan pengembangan kewirausahaan pribumi Indonesia yang kuat.
Kemerdekaan Indonesia tidak akan utuh jika tidak didukung dalam bidang perekonomian. Oleh karena itu perubahan sistem ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional menjadi agenda utama dari pemerintah Indonesia. Hingga tahun 1950, Indonesia masih merasakan dominasi kuat ekonomi kolonial yang kapitalis[3], masyarakat Indonesia hanya menjadi bagian terkecil (bahkan terkesan pasif) dalam sistem ekonomi kolonial tersebut.
Berdasarkan perjanjian di bidang ekonomi yang dituangkan dalam bentuk Finec ( Financial-Economic Agreement ) dalam sidang KMB di Den Haag, pemerintah Belanda mendapat jaminan dan konsesi akan kepentingan ekonominya di Indonesia.[4] Sebagian besar sektor ekonomi Belanda memiliki 25 persen total dari GDP Indonesia dan 10 persen total dari lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia.[5] Sebagai langkah awal untuk mendukung terbentuknya perekonomian Nasional, para perumus kebijaksanaan Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengambil alih sektor-sektor strategis di bawah kontrol langsung pemerintah. Diantaranya adalah nasionalisasi De Javasche Bank[6], melikuidasi perusahaan penerbangan Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands-Indische Luchtvaart Maatschappij, KNILM)[7], mengambil alih sektor-sektor penting seperti jalur-jalur kereta api di Jawa dan fasilitas umum seperti perusahaan gas dan listrik. Meskipun sebagian perusahaan utama milik Belanda telah dinasionalisasi, akan tetapi yang lainnya masih beroperasi hingga tahun 1957.[8]
Sebagai negara yang telah lama menjadi suatu sistem perdagangan dunia, masa kolonialisme Jepang hingga Revolusi Fisik merupakan fase hilangnya kesempatan untuk mengembangkan dan memperkuat kelas menengah di negeri ini. Indonesia membutuhkan kelas pengusaha untuk memulai roda perekonomian. Untuk memunculkan kembali bibit-bibit entrepreneur tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang pada akhirnya diarahkan untuk memperkuat kelas menengah Indonesia.[9]
Pada tahun 1950, atas prakarsa dari Menteri Kesejahteraan Djuanda dan Sumitro Djojohadikusumo mulailah diperkenalkan “Program Benteng”.[10] Target dari program ini jelas, untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi Indonesia, melindungi para importir nasional agar dapat bersaing dengan importir asing, dan nantinya diharapkan dapat menggantikan posisi dominan perusahaan dagang Belanda “The Big Five”, yang terdiri dari Borsumij, Jacobson van den Berg, George Wehry, Internatio dan Lindeteves serta perusahaan Inggris seperti MacLaine Watson.[11]
Program Benteng sendiri lebih difokuskan pada bidang perdagangan impor. Pertama, hal ini dikarenakan jumlah modal dan sumber-sumber daya perusahaan yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan bidang lain, seperti perusahaan manufaktur. Kedua, banyak perusahaan-perusahaan Belanda yang masih beroperasi memanfaatkan sektor impor ini. Ketiga, arti penting impor bagi perekonomian Indonesia, karena sudah sejak masa kolonial, perusahaan manufaktur bergantung pada sektor impor. Dan Keempat, pemerintah memiliki kekuasaan yang lebih besar atas kegiatan impor dibanding pihak manapun.[12] Oleh karena itu, pemerintah berharap lewat perdagangan impor inilah pengusaha-pengusaha lokal atau pribumi dapat memutar kembali modalnya dan dapat digunakan untuk mengembangkan sektor-sektor usaha yang lebih besar.[13] Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk kredit lunak kepada para pengusaha dan juga lisensi-lisensi impor dengan beberapa syarat. Akan tetapi, karena sebagian besar aktivitas ekonomi Indonesia pada masa kolonial masih pada taraf industri rumahan, pemerintah Indonesia juga mengambil tindakan untuk mendorong dan mengembangkan usaha koperasi. Pertumbuhan koperasi merata di seluruh Nusantara, dari mulai tingkat propinsi hingga ke tingkat desa (KUD).[14] Sistem koperasi ini dianggap pemerintah sebagai usaha paling efisien, selain membeli barang dari hasil karya anggota-anggotanya, Koperasi Unit desa juga membantu pemerintah memberikan pinjaman berupa kredit lunak untuk merangsang industri-industri berskala kecil di daerah.
Dikeluarkannya kebijakan Benteng selain untuk menghentikan dominasi ekonomi Belanda, pada akhirnya juga merambah pada pembatasan dominasi pengusaha Tionghoa di Indonesia. Bahkan jauh sebelum dikeluarkannya kebijakan Benteng, pada tanggal 27 Oktober 1949 telah diadakan pertemuan pejabat sipil Indonesia bidang perdagangan yang membahas tentang peniadaan modal Cina sebesar mungkin, tanpa melihat mereka sebagai warga negara Indonesia atau asing.[15] Dilihat dari sejarahnya, pengusaha Tionghoa memang mendapatkan prioritas utama dalam ekonomi kolonial.[16] Mereka menguasai hampir semua sektor ekonomi modern, seperti perkebunan, pertambangan, perusahaan manufaktur skala besar, sistem perbankan, fasilitas publik, dan perdagangan antara di kota maupun pedesaan.[17] Diskriminasi terhadap pengusaha Tionghoa dalam program Benteng ini membuat Siauw Giok Tjhan yang menjadi anggota parlemen sekaligus perwakilan etnis Tionghoa memprotes kepada DPR, menurutnya program Benteng ini terlalu rasialis dan mendiskriminasi peran orang Tionghoa dalam ekonomi nasional.[18]
Dalam prakteknya pemerintah tidak dapat melepaskan pengaruh kuat dominasi pengusaha Tionghoa, karena mereka menguasai perdagangan ekspor-impor. Selain itu mereka juga memiliki jaringan yang kuat dan efektif, jaringan ini sudah sangat lama terbentuk dan memiliki hubungan dengan jaringan internasional.[19] Meskipun pribumi pada masa ini diuntungkan dan mendapat prioritas dari perdagangan impor tetapi hanya beberapa pengusaha pribumi saja yang dapat mengembangkan perusahaannya. Hal ini disebabkan Indonesia yang didiami berbagai etnik, membuat jaringan pribuminya hanya terbatas pada lokasi tertentu dan tidak dapat terhubung satu dengan yang yang lainnya.
Selain itu, Kebijakan Benteng juga melahirkan para importir-importir gadungan. Para pengusaha pribumi (si Ali) yang tidak memiliki modal dan tempat usaha, dengan membawa “aktentas” keluar masuk kantor Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) untuk mendapatkan lisensi impor. Setelah mereka mendapatkan lisensi tersebut, mereka mendatangi pengusaha Tionghoa (si Baba) untuk menjual lisensi tersebut.[20] Kerjasama inilah yang kemudian terkenal dengan istilah sistem Ali-Baba. Keinginan pemerintah untuk menyingkirkan peran orang Tionghoa lewat program Benteng bukan hanya merupakan tugas yang sulit, tetapi juga sangat tidak efektif. Hal ini dikarenakan ativitas ekonomi Tionghoa yang sudah berlangsung lama, secara tidak langsung telah terjalin hubungan yang lebih dekat dengan pribumi Indonesia.





[1] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2008. (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 487.

[2] J.A.C. Mackie, “Periode 1941-1965 sebagai Selingan dalam Pembentukan Ekonomi Nasional: Bagaimana Sebaiknya Kita Menafsirkan?”, dalam J. Th. Linblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. (Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002), hlm. 401.

[3] Taufik Abdullah, “Indonesianisasi: Sebuah Wacana dan Serentetan Peristiwa”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 5.

[4]  M.C. RIcklef, op.cit., hlm. 497.

[5] Thee Kian Wie, “Kebijaksanaan Ekonomi di Indonesia selama Periode 1950-1965, Khususnya dalam Investasi Modal Asing”, dalam J. Th. Linblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. (Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002), hlm. 377.

[6] De Javasche Bank berganti nama menjadi Bank Indonesia dan menjadikannya sebagai Bank Sirkulasi Indonesia. Lihat J. Th. Linblad, “From Java Bank to Bank Indonesia: A Case Study of Indonesianisasi in Practice”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 21.

[7] Koninklijk Nederlands-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) berganti nama menjadi Maskapai Penerbangan Garuda (GIA) dan menjadi perusahaan penerbangan domestik.

[8] Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara. (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 25.

[9] W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Kelas. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 96.

[10] Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik. (Jakarta: ELKASA, tt), hlm. 677.

[11] Widigdo Sukarman, “Upaya Membentuk Perbankan Nasional: Peran Bank BNI pada Tahun 1950an”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 55.

[12] Lukman, “Perekonomian Indonesia 1950-1966 (Suatu Tinjauan Aspek Moneter)”. Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2001, hlm. 24.

[13] Thee Kian Wie, op.cit., hlm. 377.

[14] Eddiwan, “Beberapa Catatan Mengenai Perkoperasian di Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono (ed.), Koperasi di Dalam Orde Ekonomi: Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1987), hlm. 128.

[15] Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2005), hlm. 373.

[16] Thee Kian Wie, “Indonesia’s First Affirmative Policy: The “Benteng” program in The 1950’s”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 36.

[17] Yoshihara Kunio, op.cit., hlm. 55-60.

[18] J. Th. Linblad, “Beyond Benteng: Indonesian Entrepreneurship in Central Java in the 1950s”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 7 Nomor 1, 2004, hlm. 87.

[19] op.cit., hlm. 76.

[20] Benny G. Setiono, op.cit., hlm. 676.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar