Sabtu, 04 Januari 2014

Perempuan dalam Batas Pemaknaan

Masyarakat umum telah mengetahui bahwa istilah perempuan “tersembunyi” dalam sejarah. Pandangan ini tidak lain disebabkan oleh penelitian dan penulisan sejarah yang cenderung pada masalah sekitar politik dan kekerasan. Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah menyatakan bahwa “dua hal yang selalu menjadi milik kaum laki-laki” yaitu politik dan kekerasan.

Oleh karena itu rekonstruksi sejarah kita bercorak androsentris, karena sejarah berpusat pada kegiatan kaum laki-laki. Banyak sejarawan mengabaikan kaum perempuan karena dalam pikiran mereka yang signifikan adalah suatu hal yang nyata di bidang politik dan ekonomi. Laki-laki aktif dan perempuan pasif, kehidupan perempuan dianggap timelessness tak dibatasi oleh waktu atau berpusat pada mengandung dan memelihara anak dalam lingkungan keluarga. Gambaran masa lalu semacam itu tentu saja tidak adil, karena melihat perempuan sebagai second sex semata-mata.
                                                                                               
Dalam tokoh pewayangan, seorang perempuan Jawa sebenarnya telah membuat sejarah. Tokoh istri Arjuna seperti Srikandi dan Larasati memberikan citra tersendiri tentang psikologi perempuan yang selain lemah lembut ternyata mampu berperang. Hal ini membuat sosok Arjuna menjadi panik dengan dualisme sifat perempuan yang saling bertolak belakang. Akan tetapi, dari sekian sosok perempuan dalam dunia pewayangan, lebih banyak perempuan yang bersifat layaknya perempuan yang lembut dan terkesan lemah.

Berabad-abad lamanya perempuan dianggap sebagai makhluk aneh yang merupakan sumber dari segala kejahatan. Seperti yang disampaikan di atas posisi perempuan pun selalu berada di golongan kelas dua bahkan cadangan. Kesalahpandangan yang selalu berorientasikan laki-laki menimbulkan dampak tersendiri bagi perempuan. Kesalahan yang dilakukan perempuan, biasanya akan mendapatkan hukuman dua kali lebih besar dibanding laki-laki. Seorang perempuan yang berselingkuh maka dia akan mendapat “hukuman” sosial yang jauh lebih berat dibanding laki-laki yang main dengan perempuan lain. Laki-laki selalu memiliki peluang kekuasaan yang jauh lebih tinggi dari perempuan.

Perempuan dalam konteks budaya Jawa sering disebut sebagai kanca wingking (teman di belakang) oleh suaminya, seluruh nasib perempuan berada di tangan suami. Swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka juga terbawa). Namun, dalam keadaan yang selalu berada di bawah laki-laki. Hal ini dianggap sebagai kodrat bagi perempuan sejak lahir. Dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial oleh Dr. Mandour Fakih dikatakan bahwa telah terjadi “kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender” yaitu dimana dewasa ini terjadi penegakan pemahaman dalam masyarakat, dimana sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti biologis atau ketentuan Tuhan. Hal ini kemudian sering disebut dengan “kodrat perempuan” adalah konstruksi sosial dan kultural atau gender.

Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika orang berbicara tentang gender, maka konotasinya pada perempuan. Hal ini disinyalir oleh Joan Wallace Scott bahwa dalam arti yang sederhana “gender” sinonim untuk “perempuan”. Kemudian dapat disimpulkan sementara bahwa arti istilah gender adalah hasil dari kontruksi masyarakat dan bukan kodrat. Seperti yang dikemukakan oleh Jane Sherron de Hart dan Linda K. Kerber dalam artikelnya yang berjudul “Gender and the New Women’s History” bahwa “gender it self is a social construction”, pernyataannya menjelaskan bahwa jelas terdapat perbedaan dari istilah gender dan seks.

Pernyataan ini juga mendapat dukungan dari Kamla Bhasin yang mengutip Ann Oakley bahwa “Gender” adalah masalah budaya, ia merujuk kepada klasifikasi sosial dari laki-laki dan perempuan menjadi “maskulin” dan “feminisme”, 99 kriteria yang bersifat budaya, berbeda karena waktu dan tempat. Sejarawan feminis menolak kontruksi hierarki dalam hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Mereka berusaha mengubah dan membalikkan pemikiran itu, seperti yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo bahwa kaum feminis yang radikal “mencoba menyadarkan perempuan akan sisterhood” untuk meggantikan istilah “brotherhood”.

Di Awal Semester


NOTE

Ini adalah catatanku pada semester-semester awal ketika belajar di jurusan Sejarah di salah satu Universitas di Yogyakarta. Ketika membaca lagi, aku sempat tersenyum-senyum (Oh, jadi begini ya tulisan mahasiswa ingusan, datar bin standar hehe). Tapi seperti yang dikatakan Karl Mannheim, apapun yang kamu tulis adalah karya penciptaan, dimana isi di dalamnya menggambarkan obyek yang nyata di luar sana. Begitu juga kata Hegel, bahwa kita dalam hidup akan terus berdialektika, begitu pun pemikiran. Jadi selamat menikmati tulisan pendek ini!


“Lihatlah masa lalu untuk kebaikan masa kini dan masa mendatang, maka pedulilah dan belajarlah sejarah”
  

Ini adalah tulisan saya atas keprihatinan yang saya rasakan, keprihatinan akan masyarakat indonesia yang jurang begitu mengapresiasi sejarah. Masyarakat tak mengenal sejarah mereka secara pasti, sejarah saat ini hanya banyak dinikmati oleh para kalangan akademisi saja, ataupun para siswa yang duduk di bangku sekolah itu. Saya juga tak yakin jika para pelajar yang duduk di bangku publik itu pun memahami dan mengapresiasi sejarah dengan benar, karena sejarah diajarkan tak semestinya disekolah-sekolah itu. Masyarakat mengenal sejarah mereka hanyalah sejarah yang ditinggalkan oleh masa Orde Baru yang telah banyak membelokan sejarah kita dan membuat sejarah kita menjadi berseragam. Politik dan perjuangan kemerdekaan, militer dan kronik kepahlawanan, itu yang dikenalkan kepada masyarakat umumnya.

Sejarah memerlukan masyarakat, dan masyarakat pun sebaliknya memerlukan sejarah. Sejarah memerlukan masyarakat karena sejarah itu tak akan terbentuk jika masyarakat tak ada, siapa yang akan menciptakan narasi sejarah? Siapa yang menjadi pelaku sejarah? Siapa saksinya? Maka sejarah sangat memerlukkan masyarakat. Dan sebaliknya masyarakat juga sangat memerlukan sejarah. Sejarah akan menceritakan semua hal yang ada di masa lalu, kejadian-kejadian baik atau buruk, struktur masyarakat, perekonomian masyarakat, pola hidup, semua hal yang berkaitan dengan kelompok masyarakat satu dan yang lainya, atau pola hubungan masyarakat dengan alam sekitarnya semua diceritakan, entah itu sisi buruk atau baik, semua ternarasikan dalam tulisan-tulisan sejarah itu.

Masyarakat perlu mempelajarinya untuk mengambil sebuah keputusan terbaik untuk masa kini ataupun masa depan. Karena dengan melihat kesalahan di masa lalu maka kesalahan itu kemungkinan tak akan diulangi kembali di masa ini dan masa mendatang. Mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang akan mengulangi kesalahan itu dengan membawa kepentingan tertentu. Kebaikan atau keberhasilan  dimasa lalu tentunya akan lebih disempurnakan lagi di masa saat ini.

Belajar sejarah penting untuk kita, karena masa lalu tentunya akan menjadi sebuah pelajaran berharga untuk dijadikan untuk masa sekarang dan masa depan.

Kamis, 02 Januari 2014

Dari Priyayi ke Pegawai Negeri: Sebuah Transformasi Kemapanan


Semua bangsa yang telah atau sedang mengalami masa transisi pastilah mengalami perubahan sosial dalam masyarakatnya, yang dipengaruhi oleh beberapa gejala dan masalah-masalah berupa perubahan politik, kebudayaan, ekonomi maupun geografisnya. Salah satu gejala atau masalah yang sedang dialami masyarakat Indonesia pada masa ini adalah terjadinya mobilitas sosial yang luar biasa dalam perubahan kedudukan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peranan dan kekuasaan yang nantinya juga ikut menentukan arah dan gerak perubahan itu sendiri. Oleh karena itu, kita dapat mengamati dan melihat seberapa jauh kekuatan-kekuatan sosial berperan dalam menciptakan golongan-golongan sosial seperti elite, maupun peran elite dalam menjalankan transformasi masyarakatnya menjadi bangsa yang modern.

Apabila kita melihat beberapa tahun lalu, terjadi hal menarik yang berkembang di masyarakat. Terdapat anggapan atau kepercayaan bahwa pada tahun 2014 terjadi pensiunan pegawai negeri secara besar-besaran. Para orang tua mendorong anaknya untuk menjadi pegawai negeri daripada bekerja di sector swasta atau mengembangkan usaha sendiri, karena mereka menganggap orang yang kerjanya bukan sebagai pegawai negeri dianggap rendah derajatnya dan tidak akan sejahtera.Hal ini membuat para lulusan sekolah tingkat atas pada waktu itu mendaftar di perguruan tinggi keguruan. Berbagai jurusan menjadi favorit bagi mahasiswa baru. Mahasiswa yang baru menyelesaikan studinya pun berusaha mendaftar tes calon pegawai. Seperti iseng-iseng berhadiah, setiap tahun tes ini kebanjiran pendaftar meskipun jumlah pendaftar yang lolos sangat terbatas. Jumlah orang yang berstatus pegawai negeri pun akhirnya tak terkendali. Kemudian muncullah isu-isu bahwa banyak pegawai negeri yang tidak menjalankan tugas semestinya, seperti berbelanja di supermarket pada saat jam kerja dengan dalih telah izin kepada atasan, juga ketika pegawai itu mengabdi di bidang pendidikan dengan dalih telah menjadi pegawai negeri, “tugas’nya seolah telah selesai untuk memberikan sumbangan ilmu yang terbaik bagi anak didiknya. Hal inilah yang akhirnya menjadi rapport merah bagi Pemerintah, terutama Kementrian Dalam Negeri. Pemerintah pun kewalahan akan isu ini dan semua akhirnya berujung pada moratorium Presiden tentang pembatasan jumlah penerimaan pegawai negeri.
Nah loooo. . .


Dari kasus ini kita dapat melihat betapa kuatnya minat masyarakat terhadap hal-hal yang berbau kemapanan. Masyarakat seolah terhipnotis iming-iming dengan adanya gaji tetap dan jaminan di hari tua. dibanding  mengembangkan usaha sendiri/enterpreneurship. Hal ini biasa disebut popular art dimana gejala ini termasuk juga ke dalam representation collectives atau collective conciousness, menurut sosiolog Emile Durkheim. Konsepsi-konsepsi yang berkembang di masyarakat muncul bukan disebabkan oleh fakta individual tetapi sebuah persoalan sosiologis yang akhirnya membentuk fakta sosial, seperti mitos, legenda populer, kepercayaan moral dan sebagainya. Oleh karena itu, dari konsep-konsep inilah berkembang fakta sosial yang mendarah daging dalam memori masyarakat Indonesia.

Hal ini sangat menarik jika kita menarik benang merah jauh ke belakang. Pada masa kerajaan Mataram Islam. Wilayah kerajaan dibagi menjadi beberapa wilayah, yaitu Kuthagara atau Nagara, Nagaragung atau Nagara Agung, Mancanegara, Pesisiran (daerah peri-peri, jika kita memakai istilah Marxis). Kuthagara adalah pusat pemerintahan yang didiami raja. Raja merupakan puncak dari hierarki pemerintahan yang langsung menguasai dan memerintah langsung bangsawan-bangsawan, pembesar dan abdi-abdinya. Seorang raja, betapapun absolut pemerintahannya tetap saja tidak dapat memerintah wilayahnya sendiri dan sangat bergantung pada apa yang sekarang kita kenal dengan istilah alat negara atau birokrasi. Meskipun istilah birokrasi sebenarnya tidak dapat dipakai dalam sistem kerajaan tradisional karena fungsinya yang sangat sederhana. Akan tetapi dalam batasan tertentu kita dapat menggunakannya dalam konteks elit politik atau elit penguasa. Negaragungsendiri diperintah oleh anak-keturunan raja atau penguasa asli yang berada di wilayah itu, yang masa lalu sengaja ditempatkan oleh raja Mataram. Sedangkan wilayah Mancanegara dan Pesisiran dikuasai oleh Bupati-bupati. Para bupati ini disebut juga raja-raja kecil karena ia dapat memerintah langsung wilayah kekuasaannya, mulai dari pembangunan fasilitas-fasilitas tertentu, pengumpulan pajak dan upeti hingga pengerahan tenaga kerja.

Menurut Soemarsaid Moertono dalam bukunya Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa pada Masa Mataram Akhir menegaskan bahwa para bangsawan maupun pembesar-pembesar kerajaan inilah yang biasa disebut golongan priyayi. Kaum priyayi adalah sekelompok kecil yang diberi jabatan atau mendapat mandat dari raja untuk membantu memerintah rakyat. Mereka menggunakan asas keturunan dalam menyerahkan status kepemimpinannya. Hal ini ditujukan untuk melanggengkan posisi para priyayi atau bangsawan ini. Namun, yang menjadi patokan penting masuknya seseorang ke dalam kelas priyayi ditentukan oleh seberapa dekat hubungan darah dengan seorang penjabat kerajaan dan kedudukan dalam “dinas” kerajaan. Seorang keturunan priyayi bila tidak memiliki jabatan, tidak dapat disebut priyayi. Sebaliknya seorang anak petani yang mendapat jabatan kecil dan memiliki plungguh dan cacah, tergolong priyayi. Maka tidak heran apabila beberapa keluarga priyayi dalam dua atau tiga generasi tidak memegang jabatan dapat jatuh miskin dan menjadi petani biasa.

Hal ini juga didukung oleh pernyataan Leslie H. Palmier, yang menyatakan bahwa pada masa itu, priyayi dapat dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu priyayi luhur dan priyayi kecil. Batasnya memang kabur, akan tetapi masih bisa dibedakan. Priyayi luhur adalah priyayi yang sebenarnya, hal ini dapat dilihat dari jabatan ayahnya, asal keturunan orang tua dan istrinya. Priyayi luhur pada khususnya memang memiliki nilai-nilai kultural tersendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sedangkan priyayi kecil ialah priyayi yang berasal dari rakyat kebanyakan. Mereka tidak harus dan tidak tentu keturunan bupati/bangsawan. Jalan menjadi priyayi pun tidak mudah bagi masyarakat kebanyakan. Kepriyayiannya didapat dari jasa dan kesetiannya pada penguasa. Mereka harus melalui ngawula, suwita, ngenger dan magang, artinya mereka harus mengabdikan diri pada seorang priyayi atau seorang pejabat kerajaan. Setelah beberapa tahun ngenger dan dianggap baik, seseorang yang ngenger itu oleh majikannya dimagangkan di kantornya. Dengan jalan itu, maka terbukalah jalan menjadi seorang priyayi.

Adipati Kartanatanegara dan Pelayannya

Para priyayi dapat dikatakan bangsawan feodal dan tempat kedudukannya diluar komunitas desa. Meskipun bahasa sehari-hari menyamakan priyayi dengan pegawai negeri, tetapi sebenarnya tidak semua pegawai negeri itu priyayi. Hal ini dikarenakan tugasnya yang masih sangat sederhana, seperti penghubung antara raja dan rakyat di daerah, mengumpulkan tenaga kerja, mengumpulkan pajak dan memobilisasi rakyat demi kepentingan kerajaan, maka posisi priyayi pada masa ini lebih tepat disebut elit penguasa daripada birokrasi.

Pada masa kolonialisme pun juga dapat terlihat bagaimana pemerintah Belanda berusaha menciptakan kemapanan bagi pribumi dan menjauhkan dari jiwa wirausaha. Pemerintah kolonial pasca politik Etis mendirikan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi. Tujuan awalnya jelas, yaitu untuk mencerdaskan pribumi/bangsa inlander ini. Akan tetapi tetap saja kenyataannya berbeda, pemerintah berusaha menciptakan pekerja-pekerja kantoran/ambtenaar yang dapat dibayar murah. Mereka dijadikan budak-budak perkantoran yang menggantikan posisi orang-orang Eropa, tetapi tetap saja posisinya tidaklah begitu penting karena cuma sebagai tukang hitung, juru tulis, juru uang, dsb.

Mungkin disini akan muncul pertanyaan, mengapa pribumi tidak mengembangkan saja bakat entrepreneurshipnya? Karena zaman dahulu kita sudah menjadi bagian dari perdagangan global? Ya benar, kita tahu bahwa pada abad 16-17 adalah masa dimana terjadi booming perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara (menurut Anthony Reid). Dimana tidak lagi terdapat kekuatan besar (Majapahit) yang menguasai wilayah Asia Tenggara dan menyisakan kekuatan-kekuatan lokal yang bebas dan merdeka dalam melakukan segala hal, salah satunya perdagangan. Akan tetapi setelah kedatangan VOC di Nusantara dan akhirnya mereka menetap, secara drastis jiwa entrepreneurs kita hilang secara perlahan-lahan. Bagaimana tidak, pedagangan bebas yang dilakukan sebelumnya harus diganti dengan perdagangan yang sifatnya monopsoni, yaitu kepada VOC saja, kita dilarang berjualan dengan orang lain. Hal ini semakin diperparah ketika VOC “mengimpor” orang-orang Timur asing ke Nusantara, mereka memposisikan dirinya sebagai perantara bagi VOC dan pribumi, kita seolah dianggap sebagai produsen semata. Semua ini berlanjut hingga masa Sistem Tanam Paksa hingga Liberalisme, pribumi malah seperti buruh/pekerja, pada masa ini banyak industri-industri rumahan yang hancur. Hal inilah yang menghalangi dan akhirnya mematikan jiwa wirausahawan kita, sehingga akhirnya kita seolah “dipaksa” mengisi segmen pegawai setelah pasca politik Etis.
Beda atau Sama Saja?




Pada tiga contoh peristiwa diatas terlihat bagaimana “jiwa kemapanan” yang sekarang ada dapat ditelusuri jauh ke belakang. Jiwa kemapanan itu secara tidak sengaja atau bahkan disengaja muncul ke dalam memori kolektif kita. Suatu perjalanan panjang sejarah yang patut kita renungkan. Tidak ada salahnya kita menjadi mapan dalam konteks hidup, tetapi tidak perlu sampai men-judge bahwa menjadi seorang pegawai negeri atau bagian dari birokrat akan menyejahterakan hidup kita. Banyak hal yang perlu dilakukan oleh kita, salah satunya dengan mengasah dan menumbuhkan jiwa wirausaha/entrepreneurs yang akhirnya menciptakan lapangan-lapangan kerja baru bagi masyarakat luas. Setiap orang pasti menginginkan yang terbaik dalam hidupnya, namun ketika melihat jumlah yang masif dalam kasus pegawai negeri,  terlihat begitu naïf bila seolah kita tidak membenarkannya.

Yogyakarta, 02 Januari 2014, di Tengah Malam.