Selasa, 24 Desember 2013

Kencreng, creng. . . creng. . . creng. . .

     Selalu ada cerita menarik dari sebuah buku, seperti salah satu buku yang aku baca malam ini, "Semarang Sepanjang Jalan Kenangan". Buku ini membahas banyak seluk beluk menarik dari kota Semarang, dan satu yang menarik itu adalah "Kencreng". Kencreng? Apa itu? Sepertinya tidak ada di kotaku?! Ya tentu saja, penyebutan terminologi ini cuma dikenal oleh orang Semarang "cekek" pada masanya. Kok masanya? Ya, karena jaman sekarang orang Semarang sendiri sudah lupa apalagi "imigran". Maklum, kata ini sudah nyaris lenyap bahkan hilang dari khasanah pembicaraan di masyarakat sehari-hari. Mungkin orang Semarang lebih mengenalnya dengan sebutan "Tukang Pijet". Ingin lebih banyak tahu? Ayo menyimak dongenganku!
 
Buku Semarang Sepanjang Jalan Kenangan


     Kalau malem-malem sampeyan mungkin selo dan lewat di trotoar jalan Pemuda ke arah Johar atau seberang Hotel Dibyapuri yang di jaman "normal" dulu namanya Hotel du Pavillion. Nah tepat di depan emperan toko di sepanjang jalan itu, banyak lesehan yang menawarkan jasa pijat pada para konsumen yang mampir hanya untuk sekedar merasakan relaksasi sambil pesan Wedang Rondhe. Profesi ini banyak digeluti oleh laki-laki dan perempuan. Ternyata eh ternyata, di jaman baheula dulu yang mungkin pada waktu itu masih banyak dokar lewat di tengah jalan sambil membuang maaf -- tai seenaknya, keberadaan mereka sudah ada lho!

     Ya Kencreng itu namanya! Jaman jebat dulu, para Kencreng yang terdiri dari perempuan setengah baya itu selalu mangkal di depan Hotel Dibyapuri atau losmen di sekitar Jalan Imam Bonjol, Pekojan dan Kauman. Gaya mereka gimana? Jangan dibayangin mereka kayak gembel yang rambutnya awut-awutan dan compang-camping bajunya! Mereka rupanya fashionable juga lho! Setiap mangkal mereka selalu memakai kain jarik dan kebaya yang ketat, sanggul di kepalanya besar-besar dan rada-rada menor gayanya berdandan.

   Entah sejak kapan Kencreng dikenal orang, tapi yang jelas menurut penuturan embah-embah di Semarang, mereka disebut Kencreng karena dulunya sering membunyikan suara "creng-creng. . . .!" dari beberapa logam tipis atau duit receh ditangan yang selalu dipukul-pukulkan satu sama lain dengan kaleng, terutama oleh para Kencreng lelaki. Bunyi "creng. . . . creng. . . . itulah menjadi pertanda keberadaan mereka atau sebagai cara mengiklankan diri sambil berjalan masuk keluar kampung. Lama-lama bunyi Kencreng ini menjadi nama dan merk penyedia jasa "mhet-mhetan" in.

     Awalnya para Kencreng ini digeluti lelaki dan perempuan, tapi lama-lama istilah Kencreng dimonopoli kaum wanita. Ya, namanya juga dimonopoli kaum hawa, biar ga sikut-sikutan juga, Kencreng-kencreng ini rupanya juga dibagi antara "Kencreng Kasar" dan "Kencreng Alus". Kencreng Kasar biasanya nampang di sembarang tempat, termasuk lobi losmen dan rumah penginapan. Usianya rata-rata sudah lebih dari separoh baya. Wajahnya, ya bisa dibayangin sendiri lah! Tentu saja sudah tidak "yaik" (bagus) lagi. Pelayanannya umumnya cuma sekedar memijit, mengurut dan melemaskan otot-otot konsumennya. Tarifnya tentu bisa diatur dengan tawar-menawar lebih dulu, kora-kora lima ribu rupiah per jam (jaman mbiyen!). Diluar tempat itupun urusan kencreng-mengencreng juga bisa dilakukan, bahkan di emper toko-toko emas yang kalau malam sudah pada tutup. Cukup dengan menggelar selembar tikar atau plastik. Anginnya yang mengendap di dalam tubuh keluar lewat glegekan, tapi angin dari luar masuk jugaaaaaa. Yahud to!


Minta yang Alusan Apa yang Kasar, Kang? All In Kok?


    Lha kalau Kencreng alus, tempat dan cara kerjanya ya agak "alusan". Wajahnya sih rata-rata masih lumayan dan usianya masih memper lah, orang masih eSTeWe atawa setengah tuwo. Tapi boleh dibilang, tubuhnya bweeeeeehhhh! masih singset dan semok bin sintal! Pelayanannya tentu saja lebih istimewa dibanding Kencreng kasar. Bukan hanya memijat, mengurut dan melemaskan otot, tapi juga mau melayani "pekerjaan ekstra", tentu dengan biaya yang ekstra juga. Jumlahnya bisa diatur, baik biaya "servis" maupun biaya sewa kamar. Mau short-time atau long-time, terserah deal-dealan.


Selain dari kampung-kampung di kota Semarang sendiri, Kencreng-kencreng itu rupanya juga datang dari Demak, Mranggen, Wonogiri, dan lain-lain. Mereka sih keluar hanya pada malam hari, jam dinasnya antara setelah bedug maghrib sampai tengah malam. Umumnya berkelompok lebih dari tiga atau empat orang.

Salah seorang purna-Kencreng yang berhasil diwawancarai sebut saja Mak Bibah, dia sudah menekuni dunianya sebagai Kencreng sejak usia belasan tahun di sebuah penginapan di bilangan jalan Pekojan. Usia Mak Bibah saja (jaman semono, red) sudah 60 tahun lebih, tapi masih terlihat bohay aduhay! Usut punya usut, dulu mak-mak satu ini bekerja sebagai buruh pabrik rokok “Pak Tani” , sedangkan suaminya seorang pegawai di Gementee (Kotapraja). Ketika pecah perang, si suami pergi gerilya dan tak kembali lagi. Sejak itu, untuk menyambung hidup, ia banting setir jadi Kencreng, kasar maupun alus-an. Semua sesuai kehendak tamunya. Katanya sih dia enggan nikah lagi! Ya maklum, namanya juga sudah mendapat nikmat lahir dan batin dari profesi Kencrengnya itu, hehe. Soal dosa atau tidak, nanti dulu! “Lha wong saya kerja suka sama suka kok”, katanya enteng.

Terus bagaimana sama Kencreng-kencreng lelaki? Rupanya, mereka lebih suka mangkal di sekitar stasiun, terminal, dan tempat-tempat pelayanan umum. Bisa ngebayangin gak, ketika mereka lagi sepi? Paling nyambi jadi kuli angkut barang, hehe. Mereka jarang mangkal di losmen atau penginapan, ya dimaklumi saja, konsumennya jarang yang perempuan, lebih banyak lelaki. Jadi dimana-mana Kencreng lelaki selalu kalah saing sama Kencreng perempuan, apalagi gak mau lah ya ujung-ujungnya, maaf -- Terong-terongan ketemu terong yang lain, hehe. Biar tetep bisa bersaing, mereka ternyata pintar juga, matok tarif yang tentunya juga lebih murah dibanding Kencreng-kencreng wanita, sekitar dua/tiga rupiah (jaman semono, red) selama satu atau dua jam. Boleh juga lho dibooking semalam suntuk, kalau mau. Tapi. . . ., tanpa pelayanan ekstra seperti Kencreng alus-alus lho! hehe.

“Creng. . . . creng. . . . creng. . . .”, suara itu mungkin sudah tidak lagi terdengar, tetapi para Kencreng ini akan tetap ada di pinggiran Jalan Pemuda (depan Sriratu Pasaraya, red). Bermodal selembar tikar, sebotol reumason atau minyak angin dan sekeping uang kepengnya, mereka akan tetap setia menunggu calon pelanggannya, meski derunya kemajuan cepat atau lambat siap menggilas eksistensi mereka. Entah sampai kapan, mereka dapat bertahan!

Nukilan dari tulisan Djawahir Muhammad dalam buku "Semarang Sepanjang Jalan Kenangan".

Bayang-bayang Wajahmu


     Angin sore bergelayut pada ranting-ranting pepohonan, di ufuk sebelah sana jet menggaris langit biru,

    Aku menyaksikan selembar daun akasia melayang-layang, mendengar rintihan kuat desau angin, 

     Kakiku bagai tak berpijak di bumi, dan tak menggantung di awan, seperti menatap bayangan sendiri, melayang dipermainkan napas sang waktu, 

     Burung-burung berhamburan dari ranting-ranting, menggores kanvas langit merah yang gelisah, langit makin disepuh keemasan dan merah tembaga, di garis horison sana tampak gerombolan bangau-bangau terbang ke sarang, 

     Di bawah senja kotamu aku berharap padamu, seperti embun-embun pada daun-daun yang anggun, basuhlah jiwa yang gelisah ini, dengan air surga yang mengalir lewat tetesan kasihmu,

Sabtu, 21 Desember 2013

Ibu




 


Bu. . .
Dihati ini ada wayang siwalan memutihkan kerinduan, lantaran hutang padamu tak kuasa kubayar, 
Dirimu adalah gua pertapaanku, dan engkaulah yang pertama meletakkan aku disini,
Saat bunga kembang menyerbak, bau sayangmu menunjuk ke langit lalu ke bumi, 

Bu. . .
Dirimu menjadi tempatku mandi mencuci lumut pada diri, tempatku berlayar menebar pukat dan melempar sauh,

Bu. . . 
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan, namamu ibuku. . . yang akan kusebut paling dahulu, bidadari berselendang bianglala yang sesekali datang padaku, menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku,

Jumat, 20 Desember 2013

Trem "Bodjong Express" Semarang

Moda transportasi di Semarang pada masa penjajahan Belanda telah tergolong maju. Pada tahun 1930an, Semarang telah memiliki trem sebagai sarana transportasi dalam kota, sedangkan di kota-kota lain di Hindia Belanda belum memilikinya. Trem melewati rute Jomblang-Bulu dengan stasiunnya (Stasiun Sentral) di daerah Jurnatan (sekitar pasar Johar sekarang). 

Rute trem Bodjong Express ini dimulai dari Stasiun Sentral menuju Jomblang, tarifnya sekitar 2 sen. Setelah itu, trem kembali lagi ke Stasiun Sentral lalu melewati Alun-alun Semarang (sekitar pasar Johar) dan sepanjang Jalan Bodjong (Jalan Pemuda sekarang). Trem juga melewati depan gedung Netherlandsch Indische Spoorweg Maschaappij (Gedung Lawang Sewu sekarang) menuju ke Bulu sebagai tujuan akhir.

Bagi masyarakat luas, trem menjadi moda angkutan kota yang mengasyikkan, karena bisa digunakan untuk piknik keliling kota Semarang. Saat lebaran tiba, banyak anak kecil berebut naik trem seharian penuh, karena waktu itu, naik trem menjadi semacam "tradisi" layaknya membunyikan mercon. Sambil berkelilig naik trem, sesekali mereka melemparkan petasan di jalanan. Jika ada petasan yang mengenai orang di jalan, saat itu juga anak-anak kecil ini tertawa kegirangan. Sudah barang tentu, orang yang terkena lemparan petasan itu hanya bisa memaki-maki. 

Namun sekarang, rel di sepanjang jalur Jomblang-Bulu sudah tidak kelihatan lagi. Banyak rel yang hilang entah kemana atau bahkan tertutup jalan aspal. Hal ini dampak dari perintah Soekarno yang menyerukan tentang penghapusanatau menghilangkan warisan-warisan Belanda yang berunsur kolonialisme dan imperialisme.

Malioboro



berjalan di tengah lalu lalang manusia berbagai rupa,
sejenak ku berhenti di sudut stasiun kota,
sedang mobil-mobil terus saja menggerus jalanan perlahan,

ku berjejer dan bergumul di antara manusia-manusia bersila,
kuambil secangkir kopi arang dari penjaja, kuteguk pelan, sangat pelan. . .
seraya menikmati arak-arakan awan yang bergelayut di langit senja, 

kaki kembali melangkah, menyusuri aspal yg mulai terkoyak,

di garis horison sana samar-samar klakson kereta terdengar seiring tiup panjang peluit penjaga,
ku berlari,
seolah maut ingin menyongsongku,

sesampainya diseberang sana, tampak detak kehidupan semakin terasa,
semakin cepat. . .
jalan tak berujung,
barisan toko tua,
kerlip lampu kota,
derum mesin kendaraan,
langkah perlahan kerumunan manusia,
kumpulan barang si penjaja,
teriak tawar menawar,
suara panjang peluit parkir,
gemrincing lonceng kereta kuda,
menyatu menjadi sebuah mozaik kehidupan yang bernadi dan berdetak,
begitu hidup. . .
begitu nyata. . .


Kamis, 19 Desember 2013

Duabelas Purnama

"Hari itu akan tiba, saat ragaku tak lagi ada. . .  Namun dalam larik puisi ini, aku takkan meninggalkanmu sendiri. . ." 

(Sapardi Djoko Damono)



Untuk Setahun Kebersamaan Kita

Cultuur Stelsel


Van den Bosch dan Idenya

Periode pemerintahan Van der Capellen di Hindia Timur sangat tidak memuaskan Pemerintah di Belanda. Produksi tanaman ekspor mengalami penyusutan yang berarti, kebijakan kepemilikan tanah yang gagal dan kebijakan reaksioner Van der Capellen yang berakibat sangat buruk. Selain itu permasalahan ditambah lagi akibat Pemerintah Hindia Belanda yang sibuk mengurusi urusan dalam negeri Vorstenlanden yang akhirnya menyeret Pemerintah Hindia Belanda jatuh kedalam perang Jawa yang dikobarkan oleh Dipanegara, seorang pangeran dari Yogyakarta. Hal ini membuat kas di Hindia Belanda kosong melompong dan disatu sisi tidak ada pemasukan sama sekali. Pengeluarannya sendiri mencapai 24 juta gulden setahun, melebihi pengeluaran di Negeri Belanda.

Negeri Belanda pun juga tak bisa berbuat banyak untuk membantu perekonomian koloninya ini, kas Negeri Belanda pun juga kosong sedangkan utang semakin membengkak sebab mereka juga sedang menghadapi pemberontakan yang dilakukan bangsa Belgia yang menginginkan kemerdekaan. Perang di wilayah ini pun berlangsung selama 9 tahun.

Van den Bosch bukanlah orang yang baru dalam mengenal Hindia Belanda. Dirinya pernah datang kesini pada masa Daendles dan diusir oleh Jenderal Guntur itu karena perbedaan paham. Kemudian ia dikirim ke Hindia Barat oleh raja Belanda (pasca perang Belanda-Belgia) untuk menjalankan misi khusus. Sepulangnya dari sana, dirinya mendapatkan perintah untuk mengorganisasi struktur ekonomi di Hindia Timur atau Hindia Belanda.

Van den Bosch tidak pernah percaya pada pandangan Hogendorp bahwa petani Jawa terlalu malas untuk mengejar keuntungannya sendiri. Dirinya yakin bahwa orang pribumi hanya butuh bantuan untuk memberikan pengetahuan dalam mencapai keuntungan dalam kemajuan ekonomi. Mereka harus dibimbing oleh penguasa untuk bekerja, apabila tidak mau mereka harus dipaksa untuk bekerja. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban ”mengorganisasikan pertanian Jawa untuk mengangkatnya lebih unggul. Inilah pemikiran awal Van den Bosch tentang cultuurstelsel.

Ketika Van den Bosch mendarat di Jawa pada tahun 1830, pemikiran Van den Bosch tentang cultuurstelsel sebenarnya tidak pernah dirumuskan secara tertulis, tetapi tampaknya sistem ini didasarkan pada suatu prinsip umum yang sangat sederhana. Menurutnya, desa-desa di Jawa berutang pajak tanah pada pemerintah sebesar 40% dari hasil panen utama desa-desa itu. Rencana Van den Bosch ialah bahwa desa-desa harus menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor (nila, tembakau, kopi dan tebu). Tanaman ekspor ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda sesuai harga yang sudah ditentukan. Dengan seperti ini, desa tidak perlu lagi membayar pajak dalam bentuk uang, tapi cukup dengan hasil panen. Surplus tanaman apapun apabila pajaknya telah tercukupi, maka akan diambil desa sendiri. Sedangkan apabila tidak terjadi surplus dan pajak tanah belum mencukupi, maka kekurangannya dapat diganti dengan jam kerja di ladang.

Dalam teorinya juga, setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Lebih dari 100.000 orang bekerja untuk pemerintah. Dengan cara demikian orang Jawa dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar dari sebelumnya dengan jumlah pekerjaan yang sama atau berpenghasilan sama dengan kerja lebih sedikit. Desa akan tetap memiliki tanah yang lebih luas dalam pengerjaannya, dan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai. Disisi lain pemerintah mendapatkan tanaman ekspor yang murah harganya.

Sistem Tanam Paksa: Sebuah Teori

Ketika Van den Bosch mendarat di Jawa pada tahun 1830, pemikiran Van den Bosch tentang cultuurstelsel sebenarnya tidak pernah dirumuskan secara tertulis, tetapi tampaknya sistem ini didasarkan pada suatu prinsip umum yang sangat sederhana. Menurutnya, desa-desa di Jawa berutang pajak tanah pada pemerintah sebesar 40% dari hasil panen utama desa-desa itu. Rencana Van den Bosch ialah bahwa desa-desa harus menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor (nila, tembakau, kopi dan tebu) dan seperlima dari waktu kerja para petani dewasa. Pada intinya, sistem baru yang diperkenalkan ini secara parsial menggantikan sistem pajak tanah yang dikenalkan Raffles, meskipun pada prakteknya dua sistem ini selalu digabungkan. Sang Gubernur Jenderal mengklaim bahwa alih- mengambil duaperlima hasil panen dalam bentuk uang. Tanaman ekspor ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda sesuai harga yang sudah ditentukan.

Dengan seperti ini, desa tidak perlu lagi membayar pajak tanah dalam bentuk uang, tapi cukup dengan hasil panen. Surplus tanaman apapun apabila pajaknya telah tercukupi, maka akan diambil desa sendiri. Sedangkan apabila tidak terjadi surplus dan pajak tanah belum mencukupi, maka kekurangannya dapat diganti dengan jam kerja di ladang atau menggunakan sumber pendapatan lainnya. Akan tetapi pemerintah dapat meminta tenaga kerja dari penduduk desa untuk menjadi pekerja pabrik dimana hasil panennya diolah.

Van den Bosch merasa bahwa dengan sistem seperti ini, setiap pihak akan mendapatkan keuntungan. Desa akan memiliki tanah yang lebih luas untuk digunakan sendiri, selain itu desa akan mendapatkan penghasilan yang sifatnya tetap dalam bentuk uang tunai. Selain itu dirinya mengklaim dapat mempekerjakan lebih dari 100.000 orang sehingga orang Jawa mendapatkan gaji yang lebih besar daripada sebelumnya dengan jumlah pekerjaan yang sama atau mendapatkan gaji yang sama tetapi dengan jumlah pekerjaan yang lebih sedikit. Di lain pihak, pemerintah juga diuntungkan dengan harga panen tanaman ekspor yang sangat murah dan meningkatkan pendapatan armada pengangkutan jalur laut Negeri Belanda NHM. Semua kesepakatan mengenai sawah ladang, tenaga kerja, dan pengiriman dibuat berdasarkan kontrak bebas antara pejabat pemerintah dan kepala desa. Van den Bosch juga mengklaim bahwa dalam waktu kurang dari 4 tahun wilayah koloni Hindia Belanda akan tentram, menutup dan mengisi kekosongan kas negara dan wilayah koloni, meningkatkan produksi tanaman ekspor dan memaksimalkan pendayagunaan tanah dan meningkatkan perdagangan.

Pelaksanaan, Penyelewengan dan Dampak Sistem Tanam Paksa

Cultuurstelsel mulai direalisasikan, pemerintah memerintahkan semua pejabatnya (orang Eropa dan bangsawan pribumi) untuk mempromosikan kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian tersebut, tapi tanpa menuntut suatu yang berlebihan. Meskipun sistem ini didasarkan pada suatu pemaksaan kerja tetapi tidak ada unsur penindasan (sukarela). Akan tetapi dalam prakteknya teori ini tidak pernah dijalankan dan akhirnya terjadi penyelewengan dimana-mana, seolah Jawa merupakan perkebunan besar milik pemerintah dan patut dieksploitasi. Teori Van den Bosch tentang keuntungan semua pihak berubah menjadi suatu peristiwa pemerasan berskala besar.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonialisme di Nusantara, sistem administrasi di Jawa memasukkan orang Eropa pada struktur pemerintahan desa, hal ini disebabkan kebijakan baru dari Negeri Belanda. Mereka ini lazim disebut opziener atau ”pengontrol” pada masa Sistem Tanam Paksa berlangsung. Mereka bekerjasama dengan para bupati dalam mengerahkan tenaga kerja lokal. Selain itu tugas mereka mengurusi pertanian pemerintah dan juga mengawasi administrasi para bupati dan bawahan-bawahannya. Para pengontrol ini berhak menghadiri pertemuan bulanan yang dilakukan bupati sampai kepala desa. Hal ini memperlihatkan betapa jauhnya peran pemerintah kolonial dalam struktur tradisional pedesaan, terlihat dari kehadiran para pejabat kolonial dan menunjukkan kepada rakyat Jawa biasa bahwa kehidupan sehari-hari mereka digerakkan oleh pemerintah kolonial di Batavia. Sedangkan para bupati diperkuat kedudukannya untuk mengembalikan peran para bupati dan bawahannya agar dihargai oleh para penduduknya.

Dalam hal perekonomian pertanian, terjadi banyak penyelewengan dalam pembagian tanah untuk penanaman tanaman ekspor. Di beberapa desa, pengambilan tanah bisa mencapai sepertiga dari luas tanah yang seharusnya hanya seperlima saja. Bahkan di sebuah desa pengambilan tanah bisa mencapai separuh tanah garapan dengan alasan untuk irigasi. Hal ini membuat banyak petani yang kehilangan lahan garapannya. Mereka tidak lagi menanam tanaman pangan tetapi hanya tanaman ekspor. Dengan fenomena seperti ini maka banyak terjadi intensifikasi pertanian tetapi tidak didukung oleh tekhnologi yang modern. Pemerintah seolah-olah atau bahkan tidak sama sekali memikirkan kesejahteraan petani yang ada di pedesaan. Ketika masa panen tebu selesai, tanah tidak dibersihkan oleh penggarap sehingga petani harus menanam membersihkan dahulu sebelum ditanami padi. Hal ini membuat masa penanaman padi lebih pendek dan varietasnya menurun drastis. Sehingga berdampak pada kelaparan di beberapa daerah, seperti Demak, beberapa wilayah di Cirebon, dan Grobogan.

Tanaman berskala ekspor banyak ditanam di wilayah Pulau Jawa, sedangkan dalam penanamannya pun dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan membutuhkan perawatan yang ekstra, sehingga dalam pengerjaannya membutuhkan tenaga kerja yang besar. Para kepala desa berperan disini untuk mencari pekerja yang murah. Petani-petani seolah dipaksa menanam tanaman ekspor ini dengan alih-alih ”membantu” perekonomian desa. Para kepala desa memberikan uang muka kepada petani agar mereka mau bekerja untuk pemerintah. Akan tetapi dalam kenyataannya, pembayaran sering terlambat akibat uang hanya berhenti pada tingkat hierarki tradisional. Petani tak lagi mendapat pendapatan yang tetap dan sedikit sekali. Hal ini membuat banyak petani-petani pergi keluar desanya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak seperti bekerja di pabrik-pabrik.

Suatu fenomena yang mencengangkan pada masa ini adalah meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa pada paroh abad ke XIX. Populasi meningkat dari 6 juta menjadi 9,5 juta penduduk. Hal ini terjadi karena pendapatan penduduk yang sangat terbatas. Sehingga untuk membuat dapur rumah tetap mengepul, maka para petani ”memproduksi” anak agar nantinya dapat membantu perekonomian keluarga. Selain itu menurut Geertz, pembengkakan penduduk ini disebabkan oleh pendeknya siklus kesuburan ibu-ibu petani dan disisi lain mereka juga keluar dari tugasnya dirumah untuk membantu suami mendapatkan upah di sawah.

Van den Bosch merasa bahwa dengan Sistem Tanam Paksa, setiap pihak akan mendapatkan keuntungan yang sama. Meskipun sistem ini didasarkan pada suatu pemaksaan kerja tetapi tidak ada unsur penindasan (sukarela). Akan tetapi dalam prakteknya teori ini tidak pernah dijalankan dan akhirnya terjadi penyelewengan dimana-mana.

Dalam hal perekonomian pertanian, terjadi banyak penyelewengan dalam pembagian tanah untuk penanaman tanaman ekspor. Mereka tidak lagi menanam tanaman pangan tetapi hanya tanaman ekspor. Dengan fenomena seperti ini maka banyak terjadi intensifikasi pertanian tetapi tidak didukung oleh tekhnologi yang modern. Tanah garapan untuk penanaman tanaman pokok semakin sedikit, dan waktu pengerjaannya terbatas sehingga pada tahun 1840 terjadi bencana kelaparan di daerah Demak, Grobogan dan beberapa wilayah Cirebon.

Tanaman berskala ekspor banyak ditanam di wilayah Pulau Jawa, sedangkan dalam penanamannya pun dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan membutuhkan perawatan yang ekstra, sehingga dalam pengerjaannya membutuhkan tenaga kerja yang besar. Akan tetapi dalam kenyataannya, pembayaran sering terlambat akibat uang hanya berhenti pada tingkat hierarki tradisional. Petani tak lagi mendapat pendapatan yang tetap dan sedikit sekali. Hal ini membuat banyak petani-petani pergi keluar desanya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak seperti bekerja di pabrik-pabrik.

Suatu fenomena yang mencengangkan pada masa ini adalah meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa pada paroh abad ke XIX. Hal ini terjadi karena pendapatan penduduk yang sangat terbatas. Sehingga untuk membuat dapur rumah tetap mengepul, maka para petani ”memproduksi” anak agar nantinya dapat membantu perekonomian keluarga.

Pada kenyataannya sistem yang digunakan ini tidak memberikan manfaat yang berarti bagi perekonomian desa. Bahkan merusak tatanan struktur mulai dari administrasi, ekonomi dan sebagainya. Banyak orang yang berpindah dari desa ke kota dengan harapan penghidupan yang layak tetapi nantinya hanya akan membuat kantong-kantong kemiskinan baru di perkotaan. Selain itu juga terjadi wabah kelaparan di beberapa wilayah di Jawa akibat minimnya penanaman tanaman pokok dan sebagainya. Akan tetapi disatu sisi kita melihat bagaimana uang dapat menjadi alat tukar di pedesaan. Selain itu penduduk pribumi juga bisa mengenali jenis-jenis tanaman ekspor.

Lampiran:

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008)
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1: Batas – batas Pembaratan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000)
W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2008)
J.S Furnivall, Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009)
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)

Mengungsi dari Merapi

     Sedikit aku ingin berbagi reportase ala pemulung, ketika Gunung Merapi meletus sekitar tiga tahun lalu, mungkin kita sudah lupa atau tidak tahu, tapi bagi masyarakat Yogya terutama di lereng Gunung Merapi, keadaan itu tak lantas tergerus memorinya, dan inilah kisahku dari sudut pandang "orang luar". . .



     Yogyakarta dirundung bencana yang datang silih berganti. setelah gempa di laut selatan yang meluluhlantakkan pada 2006, 3 tahun kemudian berganti "penunggu Merapi" unjuk gigi. Gunung Merapi tiba-tiba meletus, diluar prediksi manusia, bahkan "orang pinter" mulai dari Mbah Maridjan (abdi dalem penunggu merapi) sampai Pak Surono (BMKG). Bencana ini berlangsung selama berbulan-bulan lamanya. Tidak hanya menelan korban jiwa semata, tapi juga telah menghancurkan harta benda masyarakat lereng Merapi. Pemerintah daerah Yogyakarta yang melihat dampak bencana semakin besar, mulai mengerahkan relawan-relawan untuk membantu pengungsi. Mereka yang menjadi korban bencana diungsikan sekitar 15 km dari Gunung Merapi, dan menempati pos-pos pengungsian mulai dari kantor kecamatan, stadion, hingga universitas-universitas. Letusan Merapi yang kedua lebih dahsyat, abunya telah mencapai 20 km lebih. Oleh karena itu, para pengungsi dipindahkan ke tempat diluar titik rawan. Suasana kota Yogyakarta, terutama di daerah Kabupaten Sleman semakin tidak kondusif hingga memaksa universitas-universitas besar di wilayah ini meliburkan mahasiswanya hingga dua minggu lamanya.




Merapi Meletus
(manusi4biasa.wordpress.com)


     Ketika aku mengetahui pengumuman tersebut terbesit keinginanku untuk pulang ke Semarang, sebab situasi di kota ini sangat tidak kondusif. Kegiatan masyarakat seolah mati dan jalanan terasa sangat lengang, penduduk tidak mau keluar rumah jika tidak terpaksa, sebab mereka takut terkena penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh abu vulkanik. Keinginan untuk pulang pun sempat terkendala akibat tugas kuliah yang belum terselesaikan. Setelah mendapat kompensasi dari dosen, hari kamis aku putuskan untuk pulang bersama 4 orang teman.

          Selama di perjalanan, kami harus benar-benar menutup hidung, mulut serta mata supaya tidak kemasukan debu vulkanik. Jalanan menjadi tidak terlihat karena terlalu banyaknya debu yang berterbangan, hingga mobil-mobil maupun kendaraan bermotor harus menghidupkan lampunya jika tidak ingin bertabrakan dengan kendaraan lainnya. Akan tetapi, tidak semua jalanan tertutup debu, ada kalanya kami dapat melihat jalanan dengan lebih leluasa.



Jalan Berdebu
(techgue.com)



          Memasuki wilayah Muntilan, suasana mulai berbeda. Yang terlihat di kanan kiri jalan hanya gundukan pasir akibat letusan Merapi yang membawa material pasir, debu dan kerikil. Rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan terlihat putih kehitam-hitaman yang disebabkan tebalnya abu vulkanik, bahkan banyak rumah-rumah yang yang roboh karena tidak kuat menanggung beratnya pasir dan kerikil yang sudah menjadi lempung dan mengeras.



          Daerah-daerah yang beberapa bulan lalu aku lewati berupa lahan persawahan, sekarang telah berubah menjadi tanah lapang. Tidak hanya satu atau dua petak, tapi seluruhnya! Yang tertinggal diatasnya hanya pohon-pohon kelapa yang tetap menjulang, meski tak sehijau dulu dan sekilas bak payung usang yang sudah rusak jari-jari penyangganya. Jalanan yang kami lewati pun tertutup debu vulkanik setebal 5 cm. Setelah terguyur hujan beberapa hari sebelumnya, debu itu menjadi lumpur dan tidak bisa dilewati lagi. Jalan yang lebarnya sekitar 25 m hanya menyisakan 12 cm saja untuk dilalui kendaraan bermotor dan mobil-mobil, mirip seperti jalan setapak sewaktu pendakian. Akupun harus berjibaku dengan pengendara motor lain supaya mendapat jalan. Tidak jarang pengendara mobil salip-menyalip secara tiba-tiba, hingga orang dibelakangnya kaget dan hampir terpeleset di jalan.

     Aku sempat berhenti sesaat di pinggir jalan untuk mempotret Gunung Merapi yang mengeluarkan asap tebal di kejauhan. Tidak jauh dari tempat aku berhenti, terdapat kantor kecamatan yang digunakan sebagai tempat pengungsian. Terlihat anak-anak kecil bermain tanpa tahu apa yang terjadi disekitarnya. Sebagian dari mereka disuruh menyingkir karena truk bantuan logistik datang ke tempat itu untuk membagikan sedikit makanan untuk para korban. Sesaat kemudian, para relawan keluar untuk segera membagi ransum bagi pengungsi. Terlihat hitam legam pada wajah mereka mungkin karena kelelahan, namun wajah ceria mereka tetap mengiringi. Para pengungsi berbondong-bondong mengantri di belakang truk untuk mendapatkan jatah mereka.



Nyiurnya tak Lagi Melambai
(kangbison.wordpress.com)


          Perjalanan pun aku lanjutkan, karena hari semakin panas. Semakin menjauh dari Merapi, semakin sedikit terlihat dampaknya. Akan tetapi sepanjang jalan yang aku lalui, masih terlihat jelas apa yang baru saja aku lihat dan aku mulai merenung. Kita manusia yang selama ini merasa besar karena menguasai teknologi dan memiliki peradaban tinggi seketika menjadi kecil dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan alam. Dataran yang dulunya indah dengan persawahan dan nyiurnya, seketika berubah ketika alam menunjukkan jati dirinya pada kita. Tapi mengapa kita masih saja menyombongkan diri dengan berusaha mengendalikan alam dan berusaha menundukkannya? Padahal seharusnya menjaga keharmonisan di antara keduanya. Hal ini mungkin sedikit menjadi pembelajaran bagi kita untuk saling mendamaikan antara ekosistem alam dan peradaban manusia yang hidup di atasnya.


Yogyakarta menuju Semarang, Desember 2010

Selasa, 17 Desember 2013

Bad Boy!

     Terkadang susah juga jadi orang baik. Dalam beberapa hal harus mengalah untuk orang lain. Ya. . . walaupun tugas kita sendiri belum selesai. Seperti malam ini, aku malah merelakan mengikhlaskan diri jadi editor teman di salah satu Universitas di Yogyakarta. Antara mau menolak atau enggak. Ketika mau menolak, (seketika) selalu teringat akan kebaikannya dulu. Tapi di satu sisi aku mengorbankan hal lainnya, yang sebenarnya bisa aku dapat ketika hanya sekedar untuk mengedit "tugasnya". Ya mungkin itulah karmaku di masa lalu, hehehe.
       Memang sih, masa laluku terlalu kelam, hehehe. Aku yang dulu benar-benar jadi seorang Bad Boy! Ya. . . entah kenapa aku dianggap anak paling bandel di kampung, bahkan di sekolah, Ketika TK aja, aku sudah dianggap sebagai Bos Mafia! Hahaha, lucu memang ketika melihat teman-temanku selalu berusaha untuk tidak "berurusan" denganku, karena jika hal itu terjadi mereka mungkin bisa saja copot kancingnya, acak-acakan rambutnya, atau minimal terkunci di kamar mandi.
       Kenakalan itupun juga tidak hanya terjadi di sekolah, tapi di kampung. Pernah suatu kali aku bermain petak umpet. Hanya untuk alasan agar aku tidak jaga, aku memilih bersembunyi di saluran air berbentuk tabung yang menghubungkan dua sungai yang mengering! Tetap saja meringkuk disitu sampai benar-benar aman. Tapi namanya juga anak kecil, kalau jaga tetap aja tengak-tengok kanan kiri meski tetap pura-pura menghitung. Yah mau apa dikata, dia mergoki aku di lubang nista saluran air yang mengering itu! Dan untuk kesekian kalinya, tetap saja aku keukeuh enggak mau keluar. Ujung-ujungnya temanku yang bibire comel itu melaporlah ke satpam tergalak di rumah waktu itu (baca: ibuku). Apeslah aku sore itu, sang satpam sambil teriak-teriak sambil bawa sapu menyuruhku keluar. Alih-alih keluar dari lubang seberangnya agar enggak kena damprat sang mama tercinta, badan makin mrempul waktu aku "ketangkep" setelah sampai rumah.
       Dasar anak ingusan, tetap aja nakalnya enggak berhenti. Ketika ngaji di madrasah pun aku malah memilih balapan sepeda. Makanya tetanggaku enggak kaget ketika aku dulu ditanya "Udah Jilid Berapa Sekarang?", hehehe. Jatah antri ngaji selalu terlewat dan absen selalu ompong melompong selalu jadi "kewajaran" buatku. Tak pernah ada rasa takut dalam diriku! Tapi sayangnya kok cuma diluar aja ya? Entah kenapa dirumah aku selalu ciut nyalinya kalau ayah udah marah. Ugh! Dari Cemeti Ama Rasulli (Pusaka berbentuk Cemeti di Film Mak Lampir) alias Sabuk sampai Bonggol Sepatu kantoran yang tebalnya segede gaban, sudah biasa menggambar corak di tubuh, hehehe.
          Istilah Bad Boy itu rupanya masih tersemat hingga aku menginjak SD. Aku selalu jadi orang yang "dikagumi" banyak orang, salah satunya guru SDku kelas 1. Baru beberapa bulan saja aku sekolah di SD itu, aku sudah njoget-njoget di atas meja guru waktu istirahat. Padahal enggak ada musik yang diputer lho. Akhirnya aku dan ayahpun dipanggil kepala sekolah, beliau berkata: "Bapak, saya tahu bapak orangtua yang baik, tapi anak bapak yang satu ini terlalu hiperaktif di kelas, kalau memang bapak tidak sanggup membuatnya patuh, mungkin dia lebih baik belajar dirumah". Seketika mukaku serasa di zoom sama kamera dan ngomong, "Apa?! Aku di mau dikeluarkan kalau nakal lagi!". Sebenarnya bapak kepala sekolah ngomongnya selo sih, tapi langsung mak jellleeeeeebbbbbb!, ala pesisiran. "Alamat "dibantai" diajari sopan santun sama ayah nih habis dari rumah". Ya mau gimana lagi, dengan ikhlas aku merelakan tubuhku mengharu biru untuk kesekian kalinya.
            Tapi dari peristiwa itulah, aku mulai tersadar. Ke-beringasan-ku itu rupanya sedikit demi sedikit mulai berkurang. Suatu kali aku pernah berpikir dan berkata dalam hati, "Kenapa aku selalu membuat orang tua kecewa, susah hanya karena kenakalanku; Bukankah enggak ada untungnya aku berantem atau membuat onar?" Ya sejak mendapatkan Enlighment yang enggak terduga itu aku mulai meninggalkan masa Dark Ages ku. Berubah menjadi anak yang berusaha baik terhadap orang lain, selama dia tidak melukai kita. Dan hal itu rupanya masih aku pegang hingga malam ini.


Warung Kopi LidahIbu, 18 Desember 2013, 12.29 pm.

“Hansipnya Cina di Indonesia”: Pao An Tui di Dua Kota pada Masa Revolusi

      Hai semua! Buat kalian yang suka sama kajian Tionghoa di Indonesia, monggo dicicipi tulisan saya yang beberapa waktu lalu dimasukin di sebuah jurnal mahasiswa, #Keren ya? Pemulung punya komputer dan bisa nulis sejarah! Abisnya jadi pemulung gaptek dan kere ga asik, di kecengin terus sama temen-temen sesama pemulung, hehe.

      Jadi-jadi. . . tulisan ini mungkin anggap aja sebagai persembahan buat kalian dan terutama mas Dwicipta yang menyempatkan diri menemui saya yang masih kroco, #maklum, mas-mas satu ini sudah berkaliber nasional, cerpennya aja dapat anugerah dari koran Kempes  #eh KOMPAS, hahaha, jadi sekali lagi terimakasih buat diskusinya yang selalu asyik, entah dia sekarang dimana, semoga secepat e rabi, biar ga munyeng aja keliling-keliling Jawa. hahaha, cekidot!




Pengantar

Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu yang menjadi pemenang pada laga Perang Dunia II. Indonesia sebagai bangsa yang terjajah mulai bangkit untuk menjalani babak baru menjadi sebuah entitas politik yang berdaulat dan berusaha sejajar dengan negara-negara manapun di dunia. Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi tonggak awal revolusi nasional bangsa Indonesia yang ditandai dengan dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta. (Kahin, 1990: 11) Bertolak dari proklamasi kemerdekaan tersebut, di berbagai daerah hampir bersamaan muncul gerakan-gerakan pendaulatan dimana targetnya tak lebih dari sisa-sisa pendukung tatanan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang yang tercipta belakangan (Cribb, 1990: 7). Aksi “pembersihan” secara sepihak yang terjadi di daerah tidak hanya menyapu kalangan atas saja –dimana sebelumnya raja-raja tradisional, para bangsawan kecil dan kelompok birokrat memiliki pengaruh di masa-masa sebelum kemerdekaan–, tetapi juga menimpa kalangan bawah, terutama orang-orang Indo dan Tionghoa. Tindakan tersebut dapat terjadi karena respon dari masyarakat bumiputra yang menganggap orang Tionghoa memiliki “hubungan” dengan Belanda –meskipun di Medan gerakan protes untuk meminta perlindungan kepada sekutu baru muncul setelah aksi kekerasan terjadi. Di Surabaya sendiri perlawanan terhadap pandangan buruk tersebut ditunjukkan oleh komunitas Tionghoa di kota itu dengan turut aktif dalam perjuangan melawan Belanda. Akan tetapi kekerasan tetap merupakan fenomena tersendiri pada masa-masa awal revolusi Indonesia.

Tibanya sekutu guna mengambil alih kekuasaan Jepang di Indonesia ternyata menimbulkan tantangan-tantangan serius yang pertama terhadap revolusi. Inggris yang menjadi penanggung jawab pendaratan sekutu di wilayah Asia Tenggara ternyata tidak sendiri, mereka diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Diawali dari pendaratan pertama di bulan September 1945, pasukan sekutu (Inggris dan NICA) berhasil masuk ke Jakarta untuk melepaskan kaum internir-an Jepang. Keadaan ini seringkali memicu bentrokan senjata dengan badan perjuangan setempat. Revolusi Nasional yang dimulai dari Jakarta rupanya merembet hingga ke kota-kota besar lainnya di Jawa dan Sumatra, kembalinya penguasa lama menjadi ancaman laten terhadap kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh pihak Republik.

Masa Bersiap, begitulah pemuda-pemuda revolusioner menyebutnya sangat terasa pengaruhnya di Surabaya. Pada akhir Oktober 1945, sekitar enam ribu prajurit sekutu yang terdiri dari serdadu Inggris, Gurkha, dan anggota NICA mendarat di kota ini. Kehadiran mereka membuat keadaan semakin tegang dan tak menentu. Seperti di Jakarta, alih-alih membebaskan tawanan perang, pihak Belanda rupanya juga mempersenjatai para tawanan dan mempengaruhi etnis Tionghoa di kota ini untuk memihak mereka guna membangun kembali kekuasaannya (Roeslan Abdulgani, 1973: 23). Strategi ini rupanya berhasil, dimana beberapa penduduk Tionghoa Surabaya berdinas dalam pasukan atau menjadi mata-mata Belanda. Keberpihakan ini nyatanya tidak hanya dilakukan etnis Tionghoa saja, banyak juga diantaranya orang-orang bumiputra (K’tut Tantri, 2006: 215-216). Menggadaikan kesetiaan bukanlah jalan yang patut ditempuh, akan tetapi kemiskinan yang membelit akibat kekacauan dari negara yang “mungkin” tidak terselamatkan menjadi satu-satunya pilihan rasional. Hal ini tentu saja menuai reaksi bagi penduduk Tionghoa yang pro-Republik, hingga berujung bentrokan yang menewaskan seorang Tionghoa yang mendukung kemerdekaan. Arek-arek Surabaya yang tergabung dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan Barisan Pemuda Tionghoa segera mengambil sikap. Mereka bersama-sama menyusun daftar hitam orang-orang Tionghoa yang bekerja sebagai mata-mata musuh (Andjarwati Noordjanah, 2010: 111). Aksi pembersihan yang dilakukan menimbulkan ketakutan bagi penduduk Tionghoa yang tinggal di kota.

Keresahan mulai memuncak ketika Surabaya diguncang pertempuran hebat pada tanggal 10 November 1945. Sebagian besar penduduk kota baik penduduk lokal maupun Tionghoa mengungsi ke wilayah selatan. Sedangkan mereka yang lebih memilih untuk tetap tinggal berada di dalam lindungan Panitia Keamanan Rakyat (PKR). Penggerak lembaga multietnis ini dipimpin oleh seorang pribumi walau kekuatan penggerak sebenarnya dalam organisasi ini adalah Tionghoa yang bernama Oei Chiao Liong. PKR merupakan suatu bentuk kerjasama antara penduduk Tionghoa dan penduduk bumiputra non politik yang berusaha menjaga keamanan dan mengurus kepentingan warga Tionghoa dan Indonesia yang tidak ikut mengungsi. Selain itu terdapat lembaga sosial non politik lain seperti Palang Merah Tionghoa yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan kepada warga Surabaya dari berbagai etnis (Somers Heidhues, 1991: 167).

Untuk mengantisipasi bocornya informasi ke pihak musuh, para pemuda kembali melakukan pembersihan terhadap mata-mata Belanda. Dalam sebuah penggalan cerita pendek yang ditulis Idrus dengan judul Surabaya, perasaan takut tergambar jelas di benak rakyat Surabaya terhadap para pengkhianat Republik:

"Rakyat cukup berani menghadapi meriam-meriam musuh…. namun betapa takut mereka terhadap mata-mata musuh. Pemandangan yang mengerikan itu menghembus bagaikan badai di atas kota-kota dan di dalam hati kaum lelaki, meratakan segala sesuatu di jalannya – baik keberanian maupun kerasionalan. Setiap orang curiga terhadap semua orang lainnya, dan untuk membebaskan diri dari siksaan pemandangan ini mereka saling membunuh" (Reid, 1996: 89).

Ketakutan berujung pada kecurigaan tersebut terbukti nyata. Seorang Tionghoa menjadi korban ketika operasi pembersihan dilakukan, dirinya dianggap sebagai mata-mata Belanda. Barang-barangnya disita kemudian orangnya dibakar hidup-hidup di Alun-alun Sidoarjo. Dugaan bahwa NICA menandai mata-matanya dengan tanda khusus, berkembang menjadi sesuatu yang tidak dapat dinalar, dimana banyak orang dibunuh hanya karena kebetulan pakaiannya mempunyai unsur-unsur warna bendera Belanda. Adakalanya isu-isu negatif maupun teror yang terjadi sengaja ditiupkan oleh pihak Belanda untuk memperkeruh keadaan. Taktik itu memang dilakukan agar sistem segregasi dan kebencian antar ras tetap tertanam diantara kemajemukan masyarakat Indonesia (Pramoedya Ananta Toer, 1998: 165). Terbunuhnya pengungsi yang dicurigai mata-mata Belanda membawa akibat yang buruk terhadap nama baik pemerintah dan pejuang Indonesia di Surabaya. Pihak BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) sendiri segera mengambil tindakan dengan mengumumkan bahwa serangan terhadap warga asing tidak dibenarkan dan harus dihentikan. (Andjarwati Noordjanah, 2010: 131).

Ketika tersiarnya berita tentang proklamasi, banyak rakyat Indonesia yang tinggal di luar Jawa tidak mempercayainya. Di Sumatera Utara, faktor hubungan sosial multi-etnis dan suasana ketidakharmonisan yang terbentuk pada masa-masa sebelumnya, membuat informasi kemerdekaan menjadi simpang siur. Hanya dalam beberapa minggu, isu tersebut berkembang menjadi suatu kecurigaan antar lapisan sosial dan konflik yang bersifat vertikal dan horizontal (Reid, 1996: 111). Sikap berbeda ditunjukkan oleh penduduk Tionghoa Medan, dimana kemerdekaan tidak mendapat tanggapan serius dari dalam komunitas ini. Mereka lebih memilih diam dan menunggu hingga semuanya menjadi jelas. Pedagang-pedagang Tionghoa yang memiliki kios di pasar maupun di Pecinan memilih tutup sebagai langkah antisipasi dari tindak kriminal.

Kebenaran tentang kemerdekaan Indonesia mulai menguat ketika Mr. Teuku Mohammad Hasan tiba di Medan dengan membawa “oleh-oleh” dari Jakarta. Ia tidak gegabah, dialog dengan Shu Sangi Kai yang dipimpin Dr. T. Mansjoer hal pertama yang harus dilakukan, mengingat masih kuatnya otoritas yang dimiliki keenam kesultanan di Sumatera Utara. Gubernur Sumatera Utara tersebut menyampaikan pesan untuk secepatnya menyampaikan kabar kemerdekaan untuk rakyat Medan dan segera membentuk pemerintahan daerah, akan tetapi dialog tersebut tidak menemukan titik temu. Hal ini terjadi karena pada dasarnya mayoritas bangsawan Melayu menginginkan kembalinya pemerintahan Belanda di wilayah ini. T.M. Hasan mulai mendapatkan angin segar ketika dukungan penuh datang dari BKPI (Barisan Kebaktian Pemuda Indonesia) dan organ-organ perjuangan lainnya (Nasrul Hamdani, 2013: 145-146).

Pada tanggal 6 Oktober ketakutan akan semakin meruncingnya sentimen antar lapisan sosial menjadi nyata. Pada saat penobatan Sultan Otteman menjadi Sultan Deli yang baru, di depan istana berkibar bendera Merah-Putih-Biru disamping bendera Kesultanan Deli. Sore harinya aksi tandingan dilakukan oleh pemuda dengan mengibarkan bendera Merah-Putih, dimana pembacaan kembali teks proklamasi dilakukan oleh T.M. Hasan –Gubernur Sumatera Utara yang ditunjuk oleh pemerintah pusat (Reid, 1987: 271). Pasukan Belanda dan Sekutu sebenarnya telah bercokol di Sumatera Utara sejak bulan Oktober 1945, tapi mereka tidak dapat berbuat banyak karena kekurangan personil. Sekarang tampak jelas siapa yang menjadi Republiken dan siapa yang memihak Belanda. Keadaan semakin memanas pada saat pihak NC (National Control) yang dipimpin Xarim M.S. mulai menghembuskan “momentum” bagi sebuah pertukaran rezim dan perimbangan kekuasaan. Agitasi inilah yang kemudian menyulut semangat rakyat hingga menjadi sebuah revolusi sosial di Medan.

Pada masa-masa awal dimulainya revolusi sosial, penduduk Tionghoa banyak mengalami gangguan dengan alasan politik maupun ekonomi. Kelompok-kelompok ini secara teratur merampoki toko-toko dan gudang-gudang milik Tionghoa sekaligus menyita barang-barang yang menurut kabar sengaja ditimbun (van Langenberg, 1990: 139). Perampokan yang berkedok “perjuangan” tersebut membuat Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) angkat bicara. Lewat tulisannya ia menuturkan bahwa:

“Djamino dan Djoliteng gespuis (bajingan), marika itoe di zaman revolutie mendjadi pemboenoeh, toekang perkosa, toekang bakar roemah pendoedoek jang tida berdosa, toekang sembeleh korban-korbannja jang majit-majitnja kamoedian ditoewangin benzene boeat dibakar!....., Jang golongan Djamino dan Djoliteng dari bangsa apa djoega seringkali bikin moemet (pusing) kepala dari pemimpin-pemimpinnja, ini bisa dimengerti” (Tjamboek Berdoeri, 2004: 292-293).



Demonstrasi Orang Tionghoa di Medan
(www.budayationghoa.net)


Terbatasnya peran negara dalam mengontrol barisan-barisan ini disebabkan posisi Republik saat itu sedang kacau sehingga koordinasi antara pusat dan daerah tidak berlangsung semestinya. Sedangkan pemerintah daerah tidak memiliki otoritas yang kuat atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok-kelompok pejuang. Pada intinya gangguan atas etnis Tionghoa di Medan merupakan kelanjutan dari aksi “pembersihan” atas golongan aristokrat yang ambruk dihempas kemarahan massa. Meski tidak ada alasan yang tepat untuk memusuhi Tionghoa, akan tetapi perbedaan identitas, orientasi dan yang paling mendasar adalah kuatnya peran mereka di bidang ekonomi, maka jadilah mereka sebagai musuh bersama (Nasrul Hamdani, 2013: 160).

Lahirnya Pao An Tui: Berawal dari Suatu Kepedulian

Aksi penjarahan yang terjadi seiring meningkatnya konflik antara Indonesia-Belanda ternyata terus berlangsung dan merembet ke arah pembantaian (Ricklefs, 2008: 459-464). Di beberapa wilayah, peristiwa yang menimpa warga Tionghoa menjadi pemandangan sehari-hari meskipun beberapa dari mereka mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Pihak Republik berusaha mencari pembenaran terhadap apa yang terjadi. Menurut mereka, tindakan tersebut terjadi karena keterlibatan beberapa orang Tionghoa yang berdinas dalam pemerintahan Belanda. Untuk mencegah tindak kekerasan terulang kembali, pihak Republik meminta Belanda untuk berhenti menyerang dan mempergunakan orang Tionghoa untuk tujuan mereka, akan tetapi protes ini tidak digubris.

Situasi bertambah parah ketika Belanda melakukan “aksi polisional”-nya yang pertama, untuk menghambat gerak maju Belanda pihak Republik melaksanakan strategi bumi hangus. Ini dimaksudkan agar aset-aset yang ditinggalkan pejuang dan rakyat tidak dimanfaatkan oleh personil Belanda. Tak pelak, orang Tionghoa-lah yang paling dirugikan dalam strategi ini sebab tempat-tempat yang menjadi target pembumihangusan sebagian besar milik mereka. Melihat situasi yang kacau disertai aksi-aksi kekerasan, hal tersebut rupanya mengundang perhatian pemerintah Cina untuk mencarikan solusi atas apa yang terjadi. Konsul Jenderal Tiongkok Tsiang Chia-tung mengeluarkan intruksi:

Kepada orang-orang Tionghoa yang berdiam di daerah Republik agar mereka menolak apabila dipindahkan keluar batas kota dan apabila menghadapi bahaya, mereka harus berkumpul bersama di bangunan sekolah atau perkumpulan dan mengibarkan bendera Tiongkok bersama bendera palang merah (Benny G. Setiono, 2008: 629).
Sebagai jawaban atas seruan tersebut unit-unit sukarela segera dibentuk di distrik-distrik Tionghoa di berbagai kota besar, akan tetapi usaha ini tidak banyak membawa hasil.

Akibat terjadinya kekacauan yang telah menimbulkan banyak penderitaan kepada etnis Tionghoa sebagai ekses aksi militer Belanda, timbul pemikiran sejumlah tokoh peranakan Tionghoa di Jakarta untuk mencari jalan agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Perkumpulan Chung Hua Tsung Hui (CHTH) Jakarta memiliki inisiatif untuk mengadakan konferensi yang terdiri dari perwakilan-perwakilan CHTH seluruh Indonesia. Konferensi Tionghoa ini rencananya akan diadakan di Gedung Sing Ming Hui Jakarta selama tiga hari, mulai dari tanggal 24-26 Agustus 1947. Setelah melalui persidangan yang panjang akhirnya tercetuslah beberapa keputusan:

1.         Pembentukan Pao An Tui (Badan Pelindung Keamanan Tionghoa)
2.         Mendirikan suatu badan penyiaran resmi
3.         Menyebarluaskan hasil keputusan ke dalam dan luar negeri
4.         Koordinasi untuk menolong korban-korban yang akan dibentuk di setiap daerah (Sulardi, 1994: 62-63).

Tanggal 29 Agustus 1947 merupakan hari dimana Pao An Tui disahkan berdasarkan keputusan rapat perwakilan Tionghoa Indonesia yang tergabung ke dalam Chung Hua Tsung Hui Lien Ho Pan She Tsu (Badan Koordinasi CHTH Indonesia) –salah satu anggotanya ialah Kwee Kek Beng--, dan Jakarta dipilih sebagai kantor komite pusat. Keberadaan Pao An Tui –setelahnya akan digunakan kata PAT– tergantung pada berlakunya masa darurat perang yang berarti sewaktu-waktu organisasi ini dapat dibubarkan.

Beberapa hari sebelumnya Konsul Jenderal Tiongkok, Tsiang Chia Tung lewat siaran radio Batavia memberitahukan bahwa orang-orang Tionghoa yang berada di wilayah pendudukan Belanda diberi kebebasan untuk mendirikan badan keamanan sendiri. Srdangkan penduduk Tionghoa yang tinggal di dalam wilayah republik jika dirasa perlu diperbolehkan membentuk badan keamanan serupa. Himbauan tersebut ditolak mentah-mentah oleh pemerintah RI karena mereka yakin keselamatan etnis Tionghoa di wilayahnya terjamin dan tidak ada yang mendapat perlakuan istimewa (A.H. Nasution, 1977: 35). Selain itu masyarakat Tionghoa yang ada di daerah republik juga menyadari jika mereka membentuk badan keamanan sendiri, maka posisi mereka sangat tidak diuntungkan karena dapat menimbulkan salah paham dengan pihak pejuang.

Kemunculan PAT pada masa revolusi merupakan sesuatu yang istimewa dimana organisasi ini mendapat izin dari Belanda, seperti tertuang pada Keputusan Peraturan Penguasa Militer No. 516 yang ditandatangani oleh Jenderal S.H. Spoor. Ini berarti orang Tionghoa diberi keleluasaan dan di-“anak emas”-kan karena sebagian besar dari mereka mendukung dan terlibat dalam kebijakan yang diterapkan Belanda. Hal ini sebuah kewajaran mengingat pada masa ini Belanda lebih berfokus pada pemulihan keamanan dan perekonomian Indonesia yang telah lama terkoyak akibat perang. Organisasi kepolisian Tionghoa ini mendapat tugas dan wewenang untuk melindungi jiwa dan harta milik orang Tionghoa, mereka akan ikut campur dalam tugas militer apabila dibutuhkan, dan keanggotaannya terbatas pada orang Tionghoa saja, dan kadang-kadang mempunyai anggota orang Indonesia (Somers Heidhues, 1991: 172). Lewat tugas dan wewenang yang diperoleh organisasi ini terlihat jelas bahwa sejak awal Pemerintah Militer Belanda ikut campur tangan. Selain melihat seberapa besar dukungan dan afiliasi komunitas Tionghoa terhadap Belanda, secara tidak langsung tugas mereka lebih diringankan karena keselamatan hidup orang Tionghoa beserta aset-asetnya sudah terwakilkan lewat PAT. Selain itu, lembaga ini juga dapat dijadikan pasukan cadangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Dari Kontroversi Menjadi Aksi

Setelah disahkan oleh komite, dengan cepat PAT bermunculan di daerah-daerah kekuasaan Belanda yang menjadi pusat konsentrasi komunitas Tionghoa. Kemunculan organisasi semi militer ini lebih banyak terdapat di Jawa dan Sumatera saja, meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur untuk Pulau Jawa, sedangkan di Sumatera mereka terdapat di daerah Sumatera Timur dan Sumatera Barat (Sulardi, 1994: 66-67). Jakarta dipilih menjadi kantor pusat PAT dari seluruh Indonesia, karena disini merupakan pusat pemerintahan sekaligus menjadi pusat kegiatan utama yang mengurusi segala bentuk administrasi lembaga ini.

Surabaya dalam beberapa hal menjadi kota yang “berbeda” pada masa awal kemerdekaan. Sejak semula penduduk Tionghoa ini terpecah ke dalam dua arus yang berbeda. Orang-orang seperti Tjoa Sik Len, Siauw Giok Tjan dan Tan Po Goan lebih memilih untuk condong ke Republik, sedangkan yang lain menjadi pro-Belanda. Setelah proklamasi, peran nyata diberikan oleh mereka-mereka yang pro-Republik dengan cara membantu segenap tenaga perjuangan pemuda Surabaya. Akan tetapi disaat kacau tersebut, seringkali orang Tionghoa mendapat perlakuan diskriminasi dan kekerasan dalam banyak hal. Perlahan namun pasti, orang-orang Tionghoa yang pro-kemerdekaan mulai kehilangan pengaruhnya di kota besar itu, sedangkan etnis Tionghoa yang dekat dengan Belanda mulai bangkit seiring dilaksanakannya Agresi Militer Belanda pertama.

Setelah kembali dari rapat umum CHTH seluruh Indonesia. Dua kubu yang saling berbeda pandangan ini melakukan rapat internal. Mayoritas organisasi komunitas Tionghoa Surabaya mendapatkan suara bulat terhadap orang-orang pro-Republik. Atas desakan AM (Abdi Masyarakat) mereka melakukan pemboikotan atas pembentukan Pao An Tui (Andjarwati Noordjanah, 2010: 113). Seruan penolakan juga muncul dari Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) terhadap ide bangsanya sendiri, yang secara getir menyatakan bahwa:

“Sebagimana pembatja tahoe, Pao An Tui dilahirken di atas toempoekan poeing dan majit-majit sebagi soembangan decoratie dari fihaknya pendoedoek Tionghoa boat bikin lengkep Djamino dan Djoliteng Indonesier poenja pertoendjoekan lelakoen di panggoeng doenia”
.
dan pandangannya tentang rencana pembentukan PAT Malang:

“Di Malang sendiri, niatan diriken Pao An Tui mendjadi serabi tida, koetjoer poen boekan. Satoe hal jang biasa bagi siapa jang kenal Malang poenja pendodoek Tionghoa” (Tjamboek Berdoeri, 2004: 300).

Sebuah organisasi PAT segera dibentuk di Surabaya pada akhir 1947. Perekrutan yang dilakukan diambil dari pemuda-pemuda Tionghoa yang berusia 18-25 tahun. Masuknya mereka menjadi anggota dikarenakan faktor yang beragam, ada yang mendaftar karena sakit hati dan ingin balas dendam karena sebelumnya keluarga mereka menjadi korban. Ada pula yang hanya ingin mengejar prestise atau sekedar mencari nafkah. Tugas utama mereka adalah menjaga pusat-pusat ekonomi, melindungi tempat tinggal dan tempat pengungsian orang-orang Tionghoa dari serangan “ekstrimis” Indonesia (Tjamboek Berdoeri, 2004: 299-300), juga mengadakan patroli kota dan mengamankan daerah-daerah perbatasan.

Sebagai organisasi paramiliter, ketika bertugas tentunya mereka menggunakan seragam warna abu-abu layaknya tentara dan memiliki simbol khusus bergambar pedang/golok yang bersilang di bagian tengah dengan rantai yang melingkar di sepanjang garis luar dan tulisan PAT dalam huruf Tiongkok dan Latin. Badge ini biasa digunakan di lengan sebelah kiri. Sekilas seragam yang mereka gunakan mirip seragam KNIL, yang membedakan hanya lencananya (Sulardi, 1994: 85). Akan tetapi oleh orang luar terlihat bahwa PAT merupakan bagian dari personil Belanda. Selama bertugas hanya sebagian kecil dari mereka yang membawa pistol sisanya hanya membawa pemukul. Pemerintah militer Belanda tidak mengizinkan hal itu karena mereka takut jika PAT diberi persenjataan lengkap ada kemungkinan mereka akan membelot dan memihak pejuang Indonesia. Pada awalnya organisasi semi militer ini hanya mendapatkan tugas sepele, namun tidak jarang mereka mendapat tugas layaknya anggota militer sesungguhnya. Di medan pertempuran, pasukan ini jelas-jelas berada di pihak Belanda sehingga tak jarang mereka terlibat dalam bentrokan langsung melawan gerilyawan-gerilyawan Indonesia.



Anggota Pao An Tui Perempuan
(www.budayationghoa.net)


Diawali dari serangan-serangan terhadap komunitas Tionghoa di Medan yang intensitasnya terus meningkat. Akumulasi kekerasan yang terjadi tersebut tak dapat terbendung lagi hingga menimbulkan demonstrasi masyarakat Tionghoa Medan pada akhir tahun 1947. Sebelum demonstrasi terjadi mereka bahkan telah mengirimkan surat kepada pemerintah Belanda yang pada intinya meminta perlindungan dari kekejaman gerombolan laskar dan mendesak untuk membentuk badan kepolisian Tionghoa seperti di Jawa (Nasrul Hamdani, 2013: 162-166). Hal ini tentu saja medapatkan respon buruk dari pemerintah lokal Medan dimana Gubernur Sumatera Utara merasa dilecehkan karena orang Tionghoa terlalu membesar-besarkan apa yang terjadi dan menginginkan sesuatu yang berlebihan. Permintaan akan dibentuknya badan perlindungan khusus bagi orang Tionghoa sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya pihak Inggris dan Republik di Medan sudah terlebih dahulu merestui terbentuknya polisi keamanan Tionghoa yang biasa disebut CSC (Chinese Security Corps) pada tahun 1946. Secara struktur maupun tugas CSC tidak jauh berbeda dengan PAT bentukan Belanda, sehingga bukanlah suatu halangan ketika CHTH merekrut kembali anggota tersebut ke dalam PAT karena dalam waktu singkat jumlah personil dalam badan tersebut mencapai 800 hingga 1000 orang (van Langenberg, 1990: 140). Fakta menarik diungkapkan oleh Mary F. Somers Heidhues bahwa anggota Medan:

“Disinyalir sebagai pasukan nasionalis Tiongkok yang tertangkap semasa perang Tiongkok-Jepang dan oleh Jepang dibuang ke Sumatera. Setelah dibebaskan sekutu, sebagian bergabung dengan PAT. Ini menjadi bukti bahwa hubungan pro-Kuomintang sangat kuat pada satuan keamanan Medan” (Somers Heidhues, 1991: 173).

Tugas PAT (Chineze Veiligheidcorpsen) sebenarnya jelas bahwa mereka harus melakukan patroli dan penjagaan di pecinan, pasar, sekolah hingga tempat pengungsian orang-orang Tionghoa sampai keadaan normal. Ketika mereka di tempat pengungsian penduduk Tionghoa di perbatasan garis demarkasi inilah mereka kerapkali bentrok dengan pasukan Republik yang secara kebetulan juga menjadi area pengamanan para pejuang (Benny G. Setiono, 2008: 547). Tempat-tempat keramaian menjadi obyek vital yang perlu dijaga ketat untuk mengantisipasi penyusup Republik. Taktik perang kota yang berfokus pada penggeledahan rumah-rumah juga melibatkan PAT dalam aksinya. Tidak hanya rumah pribumi, terkadang rumah orang Tionghoa juga menjadi target sweeping untuk memastikan tidak adanya penyusup Republik. Perilaku mereka pun tidak berbeda dengan gerombolan bersenjata yang mengaku Republiken. Setiap aksinya badan semi-militer ini tak jarang melakukan tindakan kasar seperti mengambil barang penduduk (Nasrul Hamdani, 2013: 172).

Sesekali PAT kelihatan bertindak sebagai “polisi pribadi” dimana “menahan” kepala SBP Cina atas desakan Wakil Konsul Cina karena dituduh membiarkan penempelan sebuah surat kabar dinding yang menyerang Chiang Kai-shek. Untuk melaksanakan tugas tersebut, kesatuan paramiliter ini diberi perlengkapan tempur yang bisa dibilang lebih lengkap dibanding PAT di Jawa. Selain senjata sisa dari Inggris mereka diperkuat oleh senjata laras panjang, pistol revolver, artileri ringan hingga jip patrol. Akhirnya timbul pertanyaan apakah PAT benar-benar melindungi semua orang Tionghoa ataukah hanya pengusaha kaya yang tentunya merupakan penyumbang utamanya selama organisasi itu dibiayai dengan dana masyarakat. seperti dikemukakan diatas, ada petunjuk bahwa satuan ini hanya untuk melindungi properti terutama sekali pabrik, kilang, gudang dan perkebunan dari sabotase atau serangan pembumihangusan.

Masyarakat Memilih Bersikap
 Keberadaan PAT pada awalnya disegani dan popular di kalangan Tionghoa. Lewat PAT-lah orang-orang Tionghoa tidak lagi merasa terancam akan tindak kejahatan karena ada saudara sebangsa yang dapat melindungi kehidupan mereka. Setiap orang akan berjejal-jejalan di pinggir jalan untuk melihat parade dan tak segan memberikan semangat bagi para “pahlawan” mereka. Semangat yang diberikan tidak hanya berupa dukungan moril namun juga dalam bentuk pemberian dana. Akan tetapi kepopuleran PAT semakin lama semakin meredup karena beberapa faktor. Besarnya biaya yang ditanggung setiap kepala rumah tangga Tionghoa dinilai besar. Keadaan yang serba sulit membuat mereka enggan untuk memberikan bantuan lagi bagi keberlangsungan PAT. Selain itu dari tahun ke tahun keberadaan PAT semakin bergeser dari tujuan semula. Sepak terjang PAT dirasa sudah melewati ambang batas kemanusiaan sehingga tak jarang keberadaan mereka dibenci oleh berbagai pihak. Kebrutalan yang dilakukan personil PAT ditakutkan bagi sebagian orang Tionghoa akan berubah menjadi balas dendam di kemudian hari kelak (Sulardi, 1994: 91). Mereka mengecam keberadaan PAT karena lebih condong ke pihak Belanda dan seringkali memusuhi penduduk bumiputra yang tentu saja semakin memperkeruh hubungan Tionghoa dan Republiken. Dalam cerpen Pao An Tui karya Dwicipta, kita akan menemukan korelasi dalam pernyataan Sin Liong tentang sukarnya posisi Tionghoa setelah adanya Barisan Keamanan Tionghoa:

”Kita memang serba sulit. Orang-orang di Jakarta dan kota besar lain ramai-ramai membicarakan nasib babah-babah kaya yang rumahnya terus dijarah. Dan kita merelakan diri menjadi kacung Pao An Tui. Sementara mereka, babah-babah kaya itu, yang menyandarkan nasib hartanya pada Pao An Tui tak pernah memikirkan nasib orang- orang miskin seperti kita, walaupun kita loyal terhadap Republik. Menjengkelkan kalau dipikir-pikir” (Dwicipta, 2005: 2).

Berbagai dukungan untuk segera melakukan pembubaran PAT di seluruh Indonesia menjadi agenda serius di kalangan Tionghoa agar keberadaan badan perlindungan ini tidak terus menerus digunakan sebagai kepanjangan tangan Belanda. Di mata rakyat dan pemerintah Indonesia sendiri sudah terpetakan secara jelas bagaimana PAT pada masa revolusi secara sikap telah memihak “tamu lama”.



Anggota Pao An Tui sedang Latihan Baris-berbaris
(www.budayationghoa.net)


Keberadaan Pao An Tui akhirnya ditentukan oleh kebijakan politik dimana kesepakatan dibentuknya Uni Indonesia-Belanda disetujui oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu wilayah-wilayah yang masuk ke dalam kantong pendudukan Belanda secara otomatis menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat dan membentuk pemerintahan sendiri. Perintah pertama yang keluar dari masing-masing pemerintah negara bagian adalah dibubarkannya milisi-milisi atau badan semi-militer di wilayah mereka. Tentu saja keberadaan PAT di Indonesia mendapat imbasnya, beberapa daerah cabang PAT membubarkan diri pada akhir tahun 1949. Angka statistik resmi mengenai PAT mencatat hingga dibubarkannya badan ini, sekitar 5000 orang tercatat sebagai anggota – seberapa jauh angka tersebut dapat dipercaya, tidak diketahui (Somers Heidhues, 1991: 174-175).

Kesimpulan

Keberadaan Pao An Tui di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sebuah keprihatinan orang Tionghoa terhadap keberlangsungan hidup mereka di tanah perantauan. Tidak dapat dipungkiri, orang Tionghoa kerap kali menjadi target sentimen beberapa golongan yang tidak suka terhadap orang-orang Tionghoa. Alasan masyarakat sipil juga tidak dapat dipersalahkan karena orang Tionghoa lebih diistimewakan oleh Belanda pada masa penjajahan. Hal ini ditambah oleh sikap beberapa oknum Tionghoa yang lebih pro-Belanda pada masa revolusi, meskipun ada juga sebagian orang Tionghoa yang jelas-jelas mendukung perjuangan Republik. Akan tetapi tetap saja kekerasan terhadap etnis satu ini berlanjut, hingga akhirnya dilakukanlah pertemuan di Jakarta dimana salah satu poinnya mendukung terbentuknya Pao An Tui atau barisan keamanan Tionghoa.

Tujuan utama dibentuknya PAT pada awalnya hanya untuk menjaga pemukiman orang Tionghoa beserta aset-aset ekonominya dari sabotase, akan tetapi ternyata pemerintah Belanda memiliki rencana lain. Dari awal sengaja pemerintah militer Belanda ikut campur tangan dalam pembentukannya dan selanjutnya mereka memanfaatkan PAT untuk berbagai kepentingan militer seperti ikut perang hingga melakukan aksi sweeping di rumah-rumah bumiputra maupun Tionghoa untuk menghalau mata-mata Republik.

Organisasi semi-militer ini pada awalnya diakui keberadaannya oleh orang Tionghoa, karena dengan adanya PAT daerah mereka aman. Akan tetapi karena masalah dana dan sikap PAT yang semakin hari semakin brutal, pengakuan itu mulai luntur disusul ketakutan beberapa orang Tionghoa yang tidak ingin ini menjadi ajang balas dendam dan alat bagi penguasa Belanda. PAT sendiri keberadaannya akhirnya berakhir ketika diplomasi politik antara dua negara disetujui lewat perjanjian akan dibentuknya negara Uni Indonesia-Belanda.

Daftar Pustaka:

Buku:
Abdul H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. (Bandung: Angkasa, 1977).
Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya, 1910-1946. (Yogyakarta: Ombak, 2010).
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik. (Jakarta: ELKASA, 2008).
Cribb, Robert B. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergolakan antara Otonomi dan Hegemoni. (Jakarta: Grafiti, 1990).
K’tut Tantri, Revolusi di Nusa Damai. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006).
Nasrul Hamdani, Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960. (Jakarta: LIPI Press, 2013).
Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia. (Jakarta: Garba Budaya, 1998).
Reid, Anthony J. S. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).
__________. Revolusi Nasional Indonesia. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996).
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2008).
Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya. (Jakarta: Yayasan Idayu, 1973).
Tjamboek Berdoeri, Indonesia dalem Api dan Bara. (Jakarta: ELKASA, 2004).

Artikel dalam Buku:
Heidhues, Mary F. Somers. “Kewarganegaraan dan Identitas Etnis Cina dan Revolusi Indonesia” dalam Jennifer Cushman dan Wang Gungwu (ed.), Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. (Jakarta: Grafiti, 1991).
Kahin, Audrey R. “Pendahuluan”, dalam Audrey R. Kahin (eds), Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. (Jakarta: Grafiti, 1990).
Van Langenberg, Michael. “Sumatera Timur: Mewadahi Bangsa Indonesia dalam Sebuah Keresidenan di Sumatera”, dalam Audrey R. Kahin (eds), Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. (Jakarta: Grafiti, 1990).

Skripsi:
Sulardi, “Pao An Tui Jakarta 1947-1949”. Skripsi S-1, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1994.

Internet:
http://cerpenkompas.wordpress.com/2005/11/27/pao-an-tui-1/



Kampung Klebengan, 17 Desember 2013, 12.52 pm.